Mencari Abdul

Mencari Abdul
Oleh: Kiswatul Lathifah *)

Kuceritakan seorang teman. Teman dari seorang teman. Bahkan teman-teman itu berantai, darinya, darinya dan darinya. Hingga aku bertemu dengan temanku ini. Teman yang kukenal pun, sedikit.
            Abdul pertama kali menjabat tanganku di rumah seorang temanku, pertemuan sekaligus perkenalan kami yang pertama. Waktu itu, kami sama-sama baru menyandang gelar sarjana. Sarjana Sains. Bedanya, aku jurusan kimia, ia jurusan matematika.
            Aku datang ke rumah seorang temanku itu, untuk menghadiri tasyarukan kelulusannya. Abdul pun datang sebagai teman satu UKM dengan temanku. Teman yang mengenalkanku pada Abdul.
            Kugambarkan sekilas tentangnya, semampu ingatanku. Ia berkulit gelap, wajahnya oval, rambutnya berombak, tubuhnya tak terlalu tinggi, kira-kira 165 cm, berbadan kekar, dan sedikit gemuk. Bisa kulihat dari perutnya yang cukup buncit. Matanya sipit, hidungnya bangir dengan bibir sesuai. Andai saja kulitnya tak gelap, pasti Abdul seperti anak keturunan Cina yang bermata sipit yang kerap menutup sempurna kala senyumnya terbahak-bahak. Abdul pun begitu. Kalau saja kulitnya putih, pasti namanya bukan Abdul, melainkan A hong, A choi atau apalah yang terkesan kecina-cinaan. Anggap saja ia wong Cina lokal dengan kulit cokelat. Blesteran. Walau sebenarnya ia mutlak keturunan Jawa.
            Di acara tasyakuran itu, aku berkenalan dengan si Abdul. Beberapa cerita sempat ia ceritakan padaku, tentang aktivitasnya di luar kampus, tentang alasan mengapa ia sampai lulus pada semester 14, semester kritis. Ternyata, Abdul orang Lamongan. Banyak yang bilang, orang Lamongan itu rata-rata berkulit hitam. Maaf, aku juga tahu statement ini dari katanya dan katanya. Tidak bisa dibenarkan, memang. Sebab, aku juga punya seorang teman asli Lamongan yang kulitnya paling putih di kelas, Amel. Tak ada yang lebih putih darinya.
            Begitu pula denganku, juga kuceritakan beberapa kesibukanku di kampus, hingga tadinya yang diperkirakan aku bisa lulus di semester 8, tertunda hingga setahun kemudian. Kuceritakan padanya. Pada suatu waktu yang cukup lama dari masing-masing cerita kami yang saling terlontar, Abdul memberiku sebuah novel. Novel pertamanya yang baru beberapa bulan ini diterbitkan. Abdul girang bukan main menceritakan bagaimana gembiranya ia melihat buku-bukunya terpajang rapi di toko-toko buku. Mata sipitnya begitu berbinar. Matanya bercahaya bagai kemilau perak. Lalu, ceritanya itu menjadi musabab keinginanku untuk membaca novelnya. Dan Abdul, dengan senang hati memberiku satu. Gratis.
            “Untuk perempuan secantik kamu, sarjana muda. Anggap saja itu hadiah dariku.” Begitulah katanya sambil memberikanku sepotong buku hasil karyanya itu.
            “Aku juga senang menulis, bukan novel, lebih ke cerpen. Terima kasih banyak atas bukunya, Mas.” Jawabku sambil memberinya buku kumpulan cerpen yang telah lebih dulu beredar di toko buku sebelum novel Abdul.
            Lalu pertemuan kami pun, berakhir sampai disitu. Tak lagi ada kata jabat tangan untuk yang kedua, ketiga, karena aku pun pergi, Abdul pun beranjak melanjutkan karirnya bekerja di sebuah kantor redaksi nasional. Pekerjaan yang sudah lebih dulu disandangnya, sebelum gelar sarjananya.
***
            Beberapa orang di tempatku sibuk mempersiapkan acara pertunanganku yang akan dilangsungkan beberapa hari lagi. Baru satu minggu wisudaku berjalan, keluargaku sudah sibuk ingin segera meresmikan hubunganku dengan pemuda yang telah mencintaiku tiga tahun terakhir. Aku tak tahu, mengapa aku belum juga menemukan keputusan final untuk mengiyakan pinangannya. Bukan berarti aku tak mencintainya, namun aku belum siap untuk bertunangan, lalu pada suatu sudut kondisi, kedua keluarga akan terburu-buru membicarakan soal pernikahan.
            Pada satu titik, aku tak lagi menemukan alasan untuk menolak. Keluargaku sepakat, bahwa pertunanganku akan dilangsungkan seminggu setelah wisudaku kelar. Itu terjadi pada hari ini.
            Hari dimana aku kembali bertemu dengan pemuda yang teramat menyayangiku. Bagaimana tidak, ia lebih dari sekedar menuruti semua keinginanku, ia bahkan tahu situasi kapan salah satu dari kami mesti kencang ngomel atau diam berperan sebagai orang yang mengalah. Di depanku, pemuda itu kini duduk, dan kami sekeluarga mendengarkan dengan seksama, seperti acara rapat penting, ketika ayahnya menyampaikan maksud dan tujuan mereka datang kemari. Meminangku. Memberikanku selingkar cincin manis yang ternyata tak bisa melingkar di jari manisku, melainkan di jari tengah. Kedodoran.
***
            Seorang sahabat pernah berkata begini padaku, “Bila kamu ingin satu, maka jangan kau ambil dua. Karena satu menggenapkan, sedang dua melenyapkan”. Dee, nama sahabatku itu. Diandra Prameswari nama lengkapnya. Dialah seorang teman yang mengenalkanku pada Abdul, beberapa bulan lalu.
            Aku kembali teringat akan Abdul. Pasti ia tengah selesai membaca kumpulan cerpenku. Aku pun begitu, juga telah selesai membaca novelnya. Hatiku sedikit getir memikirkannya. Entah mengapa aku tak lagi mampu untuk meneruskan hubunganku dengan seorang lelaki yang kini jadi tunanganku itu. Bukan karena Abdul, namun, karena pikiranku sendiri yang saban hari semakin tak yakin untuk hidup dengannya.
            Pada satu malam, tidurku yang biasanya telentang, tak lagi bisa merebah dengan nyaman. Aku begitu ingin telungkup dan melenyapakan wajahku ke dalam bantal. Sudah tiga hari ini aku bermimpi Abdul. Pada tiga mimpi itu, ia mengajakku penuh yakin, untuk tinggal dengannya. Aku menolak, dan duduk jongkok menangisinya yang kian lamat ditelan kabut tebal, meninggalkanku. Lalu pada mimpi terakhir, ceritaku tak sampai disitu. Abdul berbisik, mengharapkanku untuk mencarinya, “Carilah aku. Disitu kau juga akan tahu bahwa aku mencarimu”.
            Aku tak begitu percaya pada mimpi. Namun, kali ini aku mantap, membenarkan mimpiku sendiri. Seperti 1 + 1 = 2, mutlak kebenarannya. Berpikir seperti anak TK yang hanya mengerti bahwa keinginannya harus dituruti. Sejak itulah, kuputuskan untuk mencari Abdul.
***
            Keputusan untuk mencarinya bukan berarti aku berlari sekian kilometer menemuinya. Aku menginginkan pertemuan yang natural. Tak juga kutanyakan pada Dee, sahabatku, dimana Abdul tinggal. Walau sekedar bertanya nomor teleponnya. Lagipula kini Dee sudah tak tinggal berdekatan denganku, selepas menikah, ia pindah ke Kalimantan bersama suaminya.
            Pertama, kubatalkan pertunanganku. Keputusan yang teramat sulit. Kukatakan bahwa aku tak lagi mengejar keadaan untuk mempertahankan cinta. Sebab, sudah lama, mungkin sejak aku bertemu Abdul, keyakinanku akan hidup bersama kekasihku itu pudar, makin sayup, lalu kini dengan tegas kukatakan bahwa aku tak ingin menikah.
            Begitu keluargaku tahu alasanku untuk mencari Abdul, mereka menghentakku dengan kalimat-kalimat yang intinya “mustahil”, jatuh cinta dan goyah karena satu kali pertemuan saja. Aku diam. Mendengarkan kalimat-kalimat logis mereka. Kalimat yang bisa kuterima. Lagipula, aku bisa berbuat apa, kenyataan menghadapkan orang tuaku merasa sangat malu pada keluarga laki-laki, kekasihku, karena pertunangan kami terpaksa dibatalkan lantaran tiba-tiba aku berubah pikiran.
            Setelah semuanya berakhir, setidaknya aku bisa mencari Abdul dengan lebih tenang. Aku pun pergi, mendatangi kantor redaksi tempatnya bekerja di Surabaya. Barangkali setelah setahun kami tak bertemu, ia masih bekerja disana. Sayangnya, sehari sebelumnya Abdul resmi resign dan pindah ke redaksi lain, di Yogyakarta.
            Tak kutanyakan nomor teleponnya. Aku tak ingin Abdul mengabari lebih dulu dimana keberadaannya. Yang kumau, aku yang menemukan Abdul, dengan caraku sendiri, dengan usahaku sendiri. Aku memilih jalan yang cukup rumit. Harusnya pencarianku segera berakhir bila saja tadi kutanyakan dimana Abdul tinggal, setidaknya ia masih belum beranjak dari Surabaya. Kemungkinan begitu.
            Sekali lagi kukatakan, aku menginginkan pencarianku natural, tanpa campur tangan siapapun. Mencari Abdul. Lagipula kunikmati dengan lapang dada proses ini. Bagiku, perjalanan tak penting ini cukup menuliskan kisah dalam hidupku, pernah mencari Abdul. Abdul yang bermata sipit, yang kujuluki Cina berkulit cokelat.
            Seminggu kemudian aku resmi menginjakkan kaki di Yogyakarta. Kota yang indah. Satu hal yang kupikirkan disini, dimana Abdul bekerja. Ada banyak redaksi di Yogya. Bisa saja ia bekerja di redaksi yang lebih tenar dari tempatnya dulu. Orang yang cukup berpengalaman sepertinya, takkan sulit masuk ke redaksi besar.
            Perjalananku di Yogya pun dimulai. Mulai kutelusuri satu demi satu redaksi besar dan cukup terkenal di bilangan wilayah ini. Namun, Abdul tak ada. Meski sudah kukatakan bahwa Abdul kemungkinan adalah karyawan baru, mereka menjawab tak ada karyawannya yang bernama Abdul. Juga kutanyakan, mungkin dalam nama lengkapnya tersirat nama Abdul, semua orang menggeleng.
            Aneh juga, padahal nama Abdul cukup pasaran. Tetapi mengapa tak ada satu pun karyawan yang kutanyakan ke beberapa redaksi hari ini, memiliki unsur Abdul dalam namanya.
            Hari berikutnya, mulai kumasuki beberapa redaksi kecil, redaksi harian, majalah atau penerbit. Satu bulan sudah genap pencarianku mencari Abdul di Yogyakarta. Sayang sekali, mereka juga tak mengenal Abdul sebagai salah seorang karyawannya.
            “Kalau Muhammad banyak, mbak. Tetapi kalau Abdul, saya rasa tidak ada yang bekerja di kantor kami”, begitu salah satu jawaban dari seorang karyawan redaksi majalah.
            Sepertinya aku telah memeras otak cukup kuat. Aku tak pernah kehabisan akal untuk mencari letak kemungkinan di redaksi mana Abdul bekerja. Kubuka berkali-kali halaman demi halaman novelnya, novel yang ia berikan setahun silam, setahun lebih sebulan, tepatnya. Halaman yang membuatku rindu padanya. Rindu tak logir, namun berkepanjangan. Rindu hanya karena kesan pertemuan pertama.
            Tak mungkin hanya kuhabiskan waktu di Yogyakarta, fokus mencari Abdul. Tanpa harus menambah penghasilanku. Singkatnya, aku bekerja di sebuah redaksi berbekal pengalaman menulis yang kupunya. Aku pun resmi bekerja.
            Sebulan, dua bulan, tiga bulan hingga setengah tahun genap sudah aku bekerja. Aku tak melupakan tujuan pertamaku datang ke kota ini, mencari Abdul. Ada waktu libur seminggu untukku. Kuputuskan untuk kembali mencari lelaki yang memberiku sebuah novel. Laki-laki sakti yang cukup membuatku memutuskan hal besar, menunda masa depan pernikahanku. Demi dia, A-B-D-U-L. Singkat.
            Hampir seminggu, masih saja sia-sia. Di beberapa kantor redaksi yang bertengger di luar area kot, juga tak kutemukan Abdul. Rasanya aku ingin menyerah saja. Tak lagi mencari Abdul yang memberiku sebuah buku, namun menemukan Abdul lain yang bisa kuajak berkenalan. Kuulangi lagi untuk menjabat tangannya, memulai kisah lain, meski bukan Abdul sang penulis novel.
            Tidak, tidak tidak. Bagaimana mungkin aku berubah niat. Semangatku setinggi awan kala itu. Sebebas udara kulontarkan keputusan-keputusan menyakitkan bagi orang lain, demi mencari Abdul yang berkulit cokelat. Bukan membangun cerita lain dengan Abdul berbeda.
            Di satu sore, aku lelah berpikir. Saat aku aku sudah berjalan jauh dari keramaian Yogyakarta yang gemerlap. Kuhinggapi seruang warung kecil, untuk menyeruput es teh. Kehausan, berjalan sekian kilo, mendatangi daftar alamat terakhir redaksi dalam kertas yang sejak tadi kupegang. Hasilnya, alamat terakhir itu juga kucoret. Tak ada Abdul disitu.
            “Es teh setunggal, Bu.” Kupesan es teh manis pada seorang ibu separuh baya. Warung bambu, tak luas, terletak dipinggiran jalan yang dikelilingi persawahan. Warung yang menyendiri. Kutebak warung ini pasti ramainya malam hari, sebab pelanggannya pasti penduduk setempat yang sore hari begini masih akan beranjak dari ladang-ladang mereka.
            Di seberang jalan, tepat di depan warung yang saat ini kududuki, bertengger sebuah bangunan sederhana. Seperti sekolah Taman Kanak-kanak. Dihiasi dengan beberapa hasil kerajinan tangan dari kertas, seperti burung origami dan perahu kertas. Digantung disana, di atap bangunan itu, terikat benang. Indah dan kekanak-kanakan.
            Tetapi, bangunan itu bukan sekolah, bukan pula taman bermain. Ada sebuah papan kecil yang menjawab pertanyaanku, “Rumah Singgah Penderita Kanker”, begitulah kira-kira kubaca dari seberang jalan.
            Penasaran, kutanyakan pada ibu penjual es teh. Benar. Rumah itu adalah rumah belajar untuk para penderita kanker. Namun, sore begini, biasanya anak-anak kecil yang belajar disana sudah pulang. Baru akan kembali besok pagi. Mayoritas anak-anak. Tak heran bangunan itu mirip seperti taman bermain, berhias beberapa kerajinan dan lukisan anak kecil.
            Tak langsung kuberanjak pulang. Kudatangi rumah singgah itu. Sepertinya masih ada orang, mungkin guru, mungkin juga relawan tenaga pengajar. Pintu yang setengah terbuka. Kupastikan masih ada penghuninya.
            Kuketuk pelan rumah itu. Rumah yang cantik. Bercat kuning, merah muda, hijau dan biru langit. Di teras depan ada beberapa lukisan yang terpajang rapi, juga di tembok, ada gambar-gambar lucu dan beberapa helai foto anak kecil yang sedang sakit. Tak kusangka di pinggiran Yogyakarta, di wilayah yang jauh dari riuh ramai dan kemilaunya, bertengger sebuah rumah tempat penderita kanker belajar. Tempat mereka membangun motivasi di tengah dugaan perkiraan hidup yang mengancam, memberikan informasi kapan meninggal dan sampai kapan masih bisa bernafas.
            Kuketuk berkali-kali, tak juga ada jawaban. Kuputuskan untuk membuka pintunya lebih lebar, pintu yang tadinya setengah terbuka. Hanya ada seorang. Seorang lelaki yang membelakangiku. Aku berdiri di sebelah kanannya. Lelaki yang tidur telungkup dan menoleh ke arah kiri. Lelaki kurus. Membeberkan tubuhnya tidur di atas lantai. Lelaki berkacamata.
***
Aku kembali teringat pada Dee, pada pepatah yang dibuatnya. Bila kau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tetapi dua melenyapkan. Aku hanya ingin satu, mencari Abdul. Bukan mencari dan melanjutkan rencanaku menikah. Karenanya, kulepaskan, kupilih satu pilihanku. Mencari Abdul.
            Ingin kubangunkan saja laki-laki itu. Namun, aku tak tega. Lagipula ia pasti akan bangun dengan amat terkejut melihat orang asing memasuki rumah singgahnya. Aku pulang. Pulang sajalah.
            Tiba di langkahku yang terakhir, rupanya bunyi lirih sepatuku membangunkannya. Ingin rasanya aku berlari, khawatir ia akan memanggilku maling. Sebentar, untuk apa aku mencuri di tempat begini? Tak ada yang lebih berharga secara material selain lukisan-lukisan yang dipajang di mana-mana. Di seluruh sudut tembok. Laki-laki yang tadinya tidur, semakin tersentak dari nyenyaknya melihat punggung seorang perempuan yang beranjak keluar pintu, dan seperti dugaanku. Ia memanggil.
            “Tunggu, siapa kamu?”, kuhentikan langkahku yang terakhir, padahal hanya tinggal 15 cm lagi dari pintu, untukku berlari saja. Namun, aku bukan orang jahat. Hanya seseorang yang ingin berkunjung. Melihat-lihat. Apa salahnya?
            Kubalikkan badan, kusematkan senyum manis yang sudah kusiapkan untuk menatap laki-laki yang tadinya tidur lelap. Laki-laki yang mungkin menatapku curiga dengan segudang pertanyaan yang akan dilontarkannya.

            “Maaf. Saya hanya ingin melihat-li… hat…” nafasku berhenti sampai di situ. Hanya ada sisa detak jantung yang untung saja tidak STOP. Sebab, bila jantungku berhenti, aku akan mati saat itu juga. Mati karena melihat laki-laki bermata sipit yang tak bisa kulupakan hanya dengan kacamata yang menutup tatapannya. Laki-laki yang kujuluki Cina bermata cokelat, yang memberiku sebuah novel, yang memutuskanku untuk meninggalkan rencana pernikahanku, yang membuatku sampai sejauh ini menyusuri dan mencarinya secara natural, tanpa mengabarinya apapun mengenai keberadaanku, laki-laki yang tak mematahkan semangatku untuk mencarinya, dan laki-laki itu kini tak lagi berbadan agak gemuk seperti beberapa tahun lalu kukenal, ia terlihat lebih kurus. Abdul. Kutemukan ia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar