Koran

Koran
(Cerpen ini dimuat di Radar Banyuwangi 06 Oktober 2013)

              Namaku Ruly. Penjual Koran yang meneriaki satu kata berkali-kali di jalanan ibu kota. Ini bukanlah pilihan hidup, hanya saja aku tak punya pendidikan tinggi hingga tak bisa duduk di gedung pencakar langit seperti politisi. Tak bisa jadi direktur, pengusaha yang butuh modal gede, dosen, apalagi profesor yang karyanya diakui.
            Rutinitasku hanya menjual koran, tak jarang bila hari telah siang, ku tumpuki tanganku dengan sisa koran yang ku tawarkan pada penumpang bis kota. Dulunya, aku nekat berangkat ke Jakarta demi mencari sesuap nasi. Tak beruntung, aku malah makin sengsara. Di kampung, meski emak hanya mencukupiku dengan nasi dan tempe goreng saja, sebenarnya itu lebih pantas disyukuri daripada harus melilit perut, menunggu laba jualku, barulah ku bisa makan sebungkus nasi kucing. Hanya nasi kucing. Sisa uangnya, lebih rela ku berikan pada penjual rokok.
            Hari mulai terik. Pukul 13.00 di ibu kota Indonesia bukan lagi jadi hari yang sejuk seperti di pegunungan atau pedesaan. Nongkrong. Sambil makan nasi bersama teman-teman senasib, pedagang asongan. Sesekali mereka mengobrol mengenai kondisi negeri ini yang makin tak bersemangat membaca berita. Buktinya, sampai sesiang ini, koran-koran yang ku jual begitu murah, berkali-kali hanya mendapat lambaian tangan para konglomerat bermobil mewah yang berhenti di lampu merah.
            “Mungkin saja mereka sudah berlangganan di rumah, Bro”. Seorang teman menepuk pundakku. Joni namanya.
            Sungguh, nama kami begitu keren. Kalau saja di awal nama kami dipanggil Pak seperti halnya pegawai pemerintah, pasti lebih keren lagi. Sial. Semua orang memanggil kami justru dengan sebutan bang Ruly, bang Joni, bang Malih, bang Anto dan beberapa temenku yang lain. Tak heran nasib kami seperti abang-abang yang konsisten mengais rejeki di jalanan.
            “Yang benar saja, baru sepuluh koran yang laku. Jangan-jangan bangsa kita sudah pada pintar, teman. Enggan perhatian pada berita hari ini”, jawabku. Joni tersenyum.
            Ku habiskan rokok yang tinggal sebatang. Kepul asapnya seolah menertawakan pekerjaanku yang tak kunjung ada kemajuan. Jangankan mengirim emak di kampung, buat makan sendiri aja susah.
            Sedih nyatanya bila ingat emak yang sudah lama jadi buruh tani. Lagi-lagi karena pendidikan rendah. Kami tak bisa jadi orang penting yang bekerja mengenakan dasi. Setengah menyesal, namun apalah daya, emak yang menjanda putus asa untuk menyekolahkanku ke kampung seberang. Usiaku yang mulai bertambah membuat rasa maluku pun menggunung, untuk melanjutkan sekolah lagi.
            Aku tinggal di perkampungan sempit, cukup kumuh, di pinggiran Jakarta. Tak akan susah kau temui pemukiman sesak di pinggiran kota ini. Dikelilingi oleh gedung tinggi. Sementara rumah kami hanya seukuran jempol kaki. Ya. Aku kos di rumah kecil. Tak mampu membayar sewa lebih mahal, terpaksa aku dan Joni, yang juga bujang, tinggal di kamar ukuran 3x4 meter saja.
            “Sampai ketemu nanti, Jon”, ku lambaikan tangan pada sahabatku itu. Joni orang Papua. Nasibnya pun sama tak beruntungnya sepertiku. Kami dipertemukan saat aku hendak mencari tempat tinggal, ku lihat Joni tengah sibuk bernegosiasi harga dengan bapak kos. Kenal pun belum, ia malah mengajakku tinggal bersamanya. Supaya kami bisa iuran membayar sewa.
            “Koran, koran, koran!” Teriakku. Hari mulai sore. Hanya tinggal beberapa pembeli yang berminat. Koran tak sama dengan buku. Harganya bisa berubah, bila tanggalnya sudah tak “terkini” lagi, sama seperti beritanya. Padahal menurutku wartawan susah payah mencari dan menulis beritanya. Dianggap sangat berharga di hari itu saja. Besoknya, mereka akan mencari berita yang lebih hangat. Bukan lagi menulis berita kemarin.
            Kadang aku merasa lebih berwawasan dengan membaca koran-koran yang ku jual. Sebagai promosi, biasanya para penjual koran juga menyuarakan berita terhangat di korannya. Jadi pendengar yang tertarik, akan membeli koran kami. Cara kami untuk tahu beritanya, pasti harus membacanya, walau hanya sebaris judulnya saja.
            Pernah dengar tidak beberapa tahun lalu, adalah seorang pemuda menang olimpiade pengetahuan umum. Usut punya usut, ternyata dia hanya penjual koran yang selalu membaca koran yang dijualnya setiap hari. Semoga saja aku bisa pandai sepertinya. Aku bergeming.
            Kakiku mulai kaku, penat sekali. Ku bawa pulang koranku. Sudah malam. Pukul 8 malam biasanya aku telah lelah. Suaraku parau dan tak bersemangat lagi bersorak. Karena hari itu labaku sedikit, ku paksakan pulang berjalan kaki saja. Lagi pula Joni juga pasti belum sampai rumah. Biasanya aku menaiki angkot untuk sampai ke pemukimanku yang penuh penduduk bernasib sama.
            Jakarta sungguh indah. Jangan hanya lihat gedung dan pusat perbelanjaannya saja. Lihat tembok-tembok yang kotor oleh tangan-tangan kreatif anak jalanan. Semua mengisahkan keluh kesah mereka. Menceritakan bagaimana mereka bahagia, mengatakan cinta pada pujaan hati, menuliskan kalimat-kalimat songong, mungkin saat mereka marah pada seorang teman. Tak ada whiteboard, mereka hanya punya pagar-pagar semen yang dilukis sesuka hati.
            Sebelum sampai rumah, masih ada sepetak tanah kosong rimbun ilalang dan tanaman-tanaman liar di sana. Ini dia. Jakarta masih punya lahan kosong. Entah milik siapa. Mungkin milik tuan tanah yang beranggapan tanah ini tak lagi berpotensi. Hendak membangun mall, namun berpikir dua kali karena dekat dekat pemukiman rakyat menengah ke bawah seperti kami. Langkahku semakin juntai dan lelah. Perjalanan 4 km menuju pintu rumah. Bukan rute dekat. Apalagi pekerjaanku yang sejak pagi sudah berkeliling menyuguhi lembar-lembar koranku.
            Aku mengendus. Sial! Dalam hatiku, mengumpat. Siapa malam-malam begini buang kotoran di tanah kosong ini. Tak mungkin kotoran binatang, baunya cukup anyir. Dibilang kotoran manusia pun, mana ada yang baunya seperti ini.
            Ku tutup hidungku yang berminyak. Bau sekali. Tak ada orang. Apa mungkin mereka melewati rute lain, karena tahu wilayah ini bau amis? Ku ciumi keringatku saat itu, sepertinya bukan bau kulitku. Ku ingat lagi. Kemarin tak ada bau seperti ini. Apa mungkin karena aku tak berjalan kaki? Aku tak mau tahu. Ingin rasanya meletakkan kakiku yang penat di ranjang tanpa kasur, di rumahku dan Joni. Joni? Apa dia tahu soal bau ini. Baunya seperti darah segar. Bau sekali. Mungkin ada binatang mati di tempat ini. Parah! Tanah kosong ini cukup luas. Kakiku yang pegal, tak sanggup berlari sambil membawa sisa koranku dalam tas, berat.
            Bayangan seseorang berlalu di belakangku. Seorang perempuan yang penampilannya semeraut, tak beraturan. Membawa sepotong kayu bakar penuh dengan cat warna merah. Mungkin dia baru saja menulisi pagar semen seperti teman-temannya, di jalan yang ku lewati tadi. Aku tersenyum kecil. Ku lihat perempuan yang mengenakan rok berwarna cokelat muda, dipenuhi dengan catnya yang berserakan. Barangkali perempuan ini baru belajar melukis. Bukannya memakai kuas, malah memakai kayu bakar yang jelas saja tak membuat lukisannya rapi.
            Aku terus berjalan. Penasaran, ku toleh tanah kosong yang berbau anyir tadi. Belum sampai pula kakiku di ujung kawasan tanah itu. Ada setumpukan koran disana. Wah, yang benar saja si pemilik tanah membuang koran-koran penuh berita di tanah kosongnya.
Aku cukup sakit hati melihat koran biasanya digunakan orang sebagai bungkus nasi. Sebab menurutku, media ini begitu mahal. Hanya saja orang tak sadar akan kabar-kabarnya yang mewah dibalut harganya yang sangat murah. Sesuatu berbalut koran itu sepertinya sebagai penutup sesuatu lain di dalamnya. Usaha yang bagus menutupi rahasia si tuan tanah dengan koran-koran itu. Ku dekati tumpukan itu.
            Sementara wanita di belakangku menghilang. Kemana perginya? Padahal di sepanjang jalan ini tak ada tikungan, lantas kemana? Ah, sudahlah. Mungkin ia kembali ke pagar semen tadi, belum selesai menorehkan kesedihannya, yang terpancar dari matanya yang sembab. Anehnya tumpukan koran itu, mempertajam penciumanku. Baunya semakin amis dan anyir. Segar. Coba saja ada makhluk penghisap darah, pasti mereka senang menempel di tumpukan ini. Baunya jelas tak sedap. Angin yang tak lagi sepoi berhembus, menyuarakan padaku untuk membuka tumpukan itu. Tak tahan dengan baunya, tetapi penasaran tinggi.
            Onggokan koran ini cukup tebal. Apa yang ditutupi si tuan tanah dengan koran ini. Panjang, seperti badan manusia saja. Benar! Aku tak bohong. Balutan koran yang begitu rapi menggariskan sedertan dugaan, dan dugaan pertama, isinya adalah badan manusia.
            Perlahan ku buka balutan koran itu. Wah, sempat ku lihat tanggal terbitnya. Hari ini. Merek koran yang sama dengan koran yang ku jual. Begitu kaya si tuan tanah, koran yang dibelinya di buang di tanahnya yang kosong.
            Belum selesai ku buka balutan koran-koran itu, perempuan tadi tiba-tiba berdiri sambil menangis di balik punggungku yang berkeringat. Entah mengapa aku begitu ngeri melihat koran di depanku. Biasanya aku begitu bersemangat melihat koran. Namun tidak kali ini. Sementara perempuan yang makin terisak, kini taklagi membawa kayunya yang penuh cat merah. Ia jongkok. Aku pun tak mengerti mengapa ia menemaniku yang tengah penasaran di lahan kosong penuh semak-semak ini.
            Anehnya, aku tak tega mengusir perempuan yang masih tersedu-sedu menangis di sampingku. Ku ajak dia bicara, perempuan itu sama sekali tak bergeming. Mungkin dia bisu, pikirku. Dia yang tadinya beranjak, malah menghampiriku yang sibuk menutup hidung sambil membuka balutan koran di benda yang ada di depanku. Sempat ku berpikir, kalau saja ini mayat manusia, pasti aku dan perempuan itu yang dituduh membunuh. Tak ada saksi lagi selain kami. Tak ada kamera CCTV yang merekam rasa penasaran kami.
            Bedanya, perempuan itu tak menutup hidungnya sepertiku. Sosoknya masih muda, mungkin masih seusiaku dan Joni. 22 tahun. Kulitnya pun hitam. Sepertinya ia satu rumpun dengan Joni yang juga berkulit hitam. Sampai di balutan terakhir. Warna darahnya semakin segar,merona, merembes pada kertas koran yang tipis. Sekali lagi ku seka, aku akan tahu siapa di balik balutan itu. Batinku semakin yakin, ini mayat manusia.
            Joni. Tergeletak berlumuran darah di hadapanku. Tuhan! Langsung ku sebut nama tuhan seketika itu. Mengapa kawan sekamarku berlumuran darah? Apa dia sedang akting? Joni memang kerap bercanda mengusikku yang penat. Katanya biar pikiranku jadi lebih enteng. Tetapi lelucon apa ini? Tak mungkin Joni berlagak seperti orang mati berlumuran darah, benar-benar darah. Dapat ku kenali dari baunya. Bukan cat warna merah seperti yang menempel pada rok perempuan yang tengah jongkok di dekatku.
            Pandanganku kabur, hitam, gelap. Aku tak ingat apa-apa. Pagi itu aku terbangun, tengah tidur di kasur yang cukup empuk. Maklum, biasanya aku tidur tanpa kasur. Ternyata aku tidur di rumah sakit. Lalu mengapa aku tertidur di sini? Bagian belakang kepalaku pusing berat. Kepalaku dibalut perban. Seperti habis dipukul orang. Lalu Joni kemana?
            Bapak kos yang tengah menungguku sampai siuman, berdiri di samping ranjang rumah sakit. Ia bilang aku ditemukan di lahan kosong bersama Joni yang tewas di sana. Kepalaku di pukul orang tak dikenal hingga berdarah dan jatuh pingsan. Aku tak lagi ingat kejadian setelahnya. Yang ku tahu, Joni tak sedang bergurau. Ia sungguh-sungguh mati terbalut koran. Sementara perempuan yang juga bersamaku malam itu, tak pernah ku lihat lagi.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar