Bebotoh

Bebotoh
(Cerpen ini dimuat di Majalah Matan 01 Oktober 2013)

            Tuhan memang selalu benar, tak satu pun perkataanNya yang salah. Namaku, Hisyam. Tinggal di Negara, Bali. Ingin rasanya ku tuliskan ceritaku di sini. Berharap semua orang dapat membaca sepenggal kisahku yang cukup membuat batin dan pikiranku terlunta-lunta. Usiaku kini 45 tahun. Adakah yang bertanya apakah aku sudah menikah dan memiliki satu atau beberapa anak? Ya, istriku Ida Ayu Putu Centaga. Perempuan hindu yang sangat setia. Ia keturunan brahmana, kasta tertinggi dalam sistem kasta Bali. Aku bahkan sudah memiliki seorang putri yang cantik, Sita namanya.
            Aku dilahirkan di Denpasar. Kota ini semakin ramai diterpa pendatang yang makin berjibun dan menetap di sana. Tak hanya kau temui orang pribumi, asli Bali saja. Namun, banyak masyarakat berbagai suku yang senang menapaki kehidupannya di Bali. Ah, pikirku tiba-tiba mengenang Putu dan Sita. Ia keluarga yang begitu menyayangiku, suami dan ayah. Sayang, telah lama tak lagi ku dengar Sita memanggilku Aji, yang berarti ayah dalam bahasa halus Bali. Pertemuan kami berhenti selepas ku tinggalkan keduanya demi menorehkan kebiasaan lama yang lebih sulit ku hapus, mengalir lekat di urat nadiku.
             Keluarga Putu tak lagi mau menampungku di lingkungan mereka. Sebab tak bisa menjadi suami dan ayah yang baik untuk keluarga. Kala itu, aku memang dalam keadaan sangat terpuruk. Diusir dalam keadaan tak ada sepeser pun uang. Putu yang kutinggalkan dengan mata menangisnya, tak mampu membantah keinginan orang tuanya.
            “Untuk apa kau pertahankan ayah Sita yang bisanya hanya menjadi bebotoh?” Ida Ayu Putu terdiam, tetap tersumpal kebisuan dan membiarkanku pergi sambil menggenggam tangan Sita yang masih berumur 10 tahun.
            Bebotoh tak hanya ada di Bali. Di mana saja akan kau temukan orang yang gemar menjalani profesinya itu. Anehnya, teman-teman senasib bebotoh sepertiku, tak satu pun mau meminjamiku uang barang 50 ribu untuk ku pakai membeli makanan beberapa hari. Tak juga menawarkan tempat tinggal. Pulang ke rumah orang tua, mereka pun menolakku karena malu dengan alasan hancurnya rumah tanggaku dan Ida Ayu Putu.
            “Ikut saja denganku, tinggallah di Negara bersamaku.” Sampai akhirnya aku bertemu Jibril, seorang teman SMA yang kebetulan berkunjung ke Denpasar dan menemukanku di tepi jalan saat tengah meminta-minta. Begitulah pada mulanya, sebelum namaku berganti dari Ida Bagus Oka Puja menjadi Muhammad Hisyam.
            Jibril seorang muslim. Tinggal bersamanya membuatku merasa tak enak bila harus tidur kala dirinya melaksanakan shalat shubuh. Ada 5 kali shalat yang ia katakan wajib. Jibril sama sekali tak memaksaku untuk hinggap di keyakinannya. Istri dan anaknya pun ramah menerimaku di sana.
            Tengah malam itu, Jibril tengah nembang sama seperti bahasa adzan. Ku pikir ia tengah adzan di tempat ibadahnya, nyatanya ia membaca kitabnya, Al Quran. Tubuhku nyaris selalu berkeringat, mengucur tangis yang tanpa sengaja ku haturkan di belahan kedua pipiku, bersebelahan dengan sumber suara itu, hatiku berdetak dan berlari seperti diselimuti rasa takut setiap kali mendengar kalimat dari kitab Jibril itu. Di rumahnya yang begitu tenang, bagaimana mungkin aku merasa dihantui oleh hal yang justru tak bisa ku lihat. Di pikiranku hanya terbesit kesalahan dan kesedihanku yang berpisah dengan istri dan anakku.
            Ku datangi Jibril yang membaca al Quran tengah malam itu. Seketika aku bersimpuh di hadapannya. “Kalimat apa yang kau baca? Perasaanku seolah hancur dan ingin menangis” begitu setidaknya kata-kata yang ku lontarkan padanya.
            Jibril bilang, mungkin saja itu hidayah Allah. Masih ku ingat saat ia membawaku pada seorang guru spiritual, berpakaian muslim seperti Jibril. Namanya KH.Ahmad Dahlan. Tinggal tak jauh dari rumah Jibril. Beliau membimbingku membaca kalimat sakral, “Syahadat”. Sejak saat itu, berangsur hidupku pun berubah. Sejak memutuskan menjadi seorang muslim.
***
            Tadi ku sebutkan bahwa aku seorang bebotoh. Di awal ceritaku juga ku bilang bahwa Tuhan tak pernah salah. Allah Maha Benar. Ku dapati hikmah dibalik kepedihan yang sempat ku terima beberapa tahun silam, saat aku meninggalkan Putu dan Sita.
            Ada jalan yang tak diridhai Allah. Jalan yang salah, saat hambanya mencari nafkah. Aku menggantungkan hidupku pada uang yang tak layak ku jadikan biaya penghidupan. Bebotoh berarti penjudi. Bila saja kau mau mensurvei orang-orang yang bernasib sama sepertiku, hanya ada sedikit sekali yang menjadi orang kaya. Itu karena jalan hidup kami salah.
            “Uang panas”, begitu istilahnya. Uang itu takkan menjadi berkah, justru menarikmu dalam kefakiran. Terbukti dengan hidupku yang semakin merosot. Hitung saja secara matematis, beberapa kali kemenanganku takkan lebih banyak dibanding kekalahanku.
            Tentu saja aku kaget, hidup berkecukupan di keluarga Brahmana membuatku manja dan tak berpikir panjang untuk berumah tangga. Hingga mereka pun setengah menekanku untuk berpenghasilan. Namun, itulah pekerjaanku, bebotoh. Aku lebih memilih meninggalkan mata teduh keluargaku daripada memilih keluar dari lingkaran kebiasaanku yang tercemar dan salah.
            Percayalah, itu pekerjaan yang takkan membuatmu bahagia. Bila tidak kau hancur secara finansial, maka akan ada sisi lain yang dibuat hancur oleh Allah. Sisi lain kehidupanmu. Entah ketentraman yang sama sekali tak kau dapatkan. Entah hidup yang tak kunjung menjadi baik. Entah usaha yang tak membuahkan hasil. Entah apa saja. Selama kau masih jadi bebotoh.
            “Tidakkah kau ingin pulang dan kembali pada istri dan anakmu?”. Jibril datang mengunjungiku. Kini aku tinggal di sebuah rumah sederhana yang ku beli sendiri dari hasil peternakan ayam kecil-kecilan. Aku tersenyum. Mungkin belum saatnya. Keluargaku cukup mencaci maki keputusanku untuk menjadi seorang muslim. Ku tinggalkan kasta tinggi yang begitu diharapkan oleh orang Sudra kebanyakan, keluarga brahmana. Aku yakin tangisanku dulu, saat ku dengar Jibril membaca al Quran, adalah panggilan kasih sayang Tuhan untuk membuat mata jiwaku terbuka lebar dan bangkit dari keterpurukan dalam lembah kesalahan.
            Hanya Sita yang sesekali datang ke rumahku. “Aku ingin tinggal bersama Aji saja di Negara”, begitu permintaanya.
***
Ku dengar kabar Ida Ayu Putu memiliki keluarga baru. Lantas ia pun mengusir Sita yang tiba-tiba pulang dan senang menggunakan busana muslimah. Ya, aku tinggal dengan putriku di sini. Ia ku sekolahkan di salah satu sekolah islam di Negara, bersama teman-teman barunya. Makin sejuk batinku melihat Sita yang bersekolah menggunakan pakaian rapi berhijab di usianya yang genap 17 tahun.
Aku kembali menata hidup dan membuang jauh-jauh predikat bebotoh dari hidupku. Terima kasih ya Rabb, terima kasih juga untuk Jibril dan sosok yang membimbingku, menjadikanku merasa memiliki orang tua, KH. Ahmad Dahlan. Aku masih belajar banyak padanya. Sebab, bukankah iman seseorang naik turun? Khawatir imanku lemah, tak ingin kembali jadi bebotoh, tetap ku belajar banyak padanya.

Negara, 2013




Tidak ada komentar:

Posting Komentar