KOPI PAHIT

Cerpen ini dimuat di Majalah Chic edisi 157 (01-15 Januari 2014)


                Laki-laki itu bermata tembaga, bersinar, seperti mercu suar yang menyinari lautan. Lautanku yang telah lama gersang dan gelap. Badannya teramat kekar, dadanya yang pejal membuatku semakin enggan pergi dari sandarannya. Ia seperti malaikat yang mendatangiku dan menghadiahkan simpul senyum menenteramkan. Bagian paling kusukai di wajahnya, ia memiliki lesung pipi membentuk jurang dalam yang melukai kulit cokelatnya. Hidungnya tak bangir, namun sesuai dengan lengkung bibirnya yang melukis senyum. Senyum yang menghancurkan pertahanan cintaku.
            Kucari telapak tangannya yang bersembunyi di bawah bantal. Ini dia. Rasa pahit pada tangan Herman. Rasa tak nyaman yang begitu kusukai, begitu rajin kuteguk saban hari. Kutemukan tangan, kugenggam tangannya yang cokelat. Tangan yang hangat, sehangat pagi ini. Pagiku bersamanya.
            “Lalu kapan kau akan mendatangiku lagi? Tidakkah kau ingin tinggal lebih lama denganku?” tanyaku sambil menatap Herman yang menenggelamkan wajahnya dalam bantal, berposisi miring, menoleh padaku.
            “Secepatnya. Aku akan kembali lagi.”
            Secangkir kopi pahit selalu kuterima dari Herman acap kali ia akan meninggalkanku. Lebih dari itu, ia memberikan empedu berkali-kali pada hatiku. Meski dengan mimik tersenyum sekalipun.
            Baiklah, aku selalu melepas kepulangannya dengan rela, dengan hati legawa. Memang ini skenario yang mesti kami jalani. Entah sudah berapa kali kopi pahit yang Herman berikan, yang pasti, aku meneguknya berteman keihklasan. Tanpa keterpaksaan.
            Pagi itu, Herman mengecup keningku perlahan, seperti pada perpisahan kami sebelumnya. Tak pernah lupa menggenggam tanganku erat, sambil berkata “Baik-baik ya disini”. Tuhan. Sungguh aku teramat menyayanginya. Diukur dengan kedewasaan sematang apapun, takkan rela kulepas Herman.
            Lagi-lagi ia menyuguhkan kopi pahit untuk dengan senang hati kuminum. Begitulah. Herman lupa menambahkan gulanya. Ia hanya tahu bahwa getir kopinya mesti diminum pula, sayangnya, diteguk olehku.
            Aku mengangguk, meneteskan bulatan air mata menyerupai angka nol yang jatuh menggelitik pipiku, melepas Herman, untuk kesekian kalinya meninggalkanku lagi. Bukannya aku tak ingin hidup berlama-lama dengannya, seumur hidup membangun cinta bersama. Namun, pekerjaannya belum selesai, mesti dituntaskan, hingga tak ada rentetan masalah yang mendatangi kami di kemudian hari.
            Malam itu, Herman tak bisa mendatangiku lagi. Sudah dua bulan kutunggu angin sejuknya di balik pintu, bahkan jendela kamarku, barangkali ada bayangan Herman yang tiba-tiba berubah pikiran dan mengunjungiku di rumah yang kutinggali sendiri. Tetapi tidak, hingga hari ini. Herman tak datang hingga dua bulan penantianku, genap. Dan, perjalanan dua bulan itu pun kuhabiskan sambil meminum kopi pahit darinya, entah berapa kali dalam sehari.
            Lalu, pada satu siang Herman datang membawa senyumnya yang lebar. Ia memelukku, kubalas pelukannya, tanda bahwa sejauh ini aku masih menantinya.
            “Sudah lama aku menunggu kamu datang.” Tangisku meretas di atas pundak Herman.
            “Maafkan aku, mesti kuatur alasan yang tepat agar semuanya lancar.” Ia menjauhkan tubuhku yang sedari tadi menempel di dadanya. Mengusap air mataku, melihatku penuh rindu. Aku tahu itu. Yakin. Sangat yakin dia pasti merindukanku juga.
            Aku hafal betul bau tubuh Herman, mengenal hingga temperatur nafasnya yang hangat. Kali ini kedatangannya sedikit memikul beban. Entah apa, yang pasti ada hal lain yang dipikirkannya selain aku.
            “Kamu baik-baik saja?” Tanyaku yang tak enak memandang rautnya yang kusut.
            “Tidak apa-apa, dia hanya sedikit sakit, kurang enak badan.” Jawabnya dengan nafas menghembus lirih.
            “Benar tidak apa-apa?”
            Herman mengangguk. Lantas kuajak ia masuk rumah. Seperti malam-malam pertemuan kami sebelumnya. Herman menginap. Kali ini hanya dua hari.
            Kuamati tubuh Herman yang tengah tidur pulas di sampingku. Cintaku. Cinta yang membuatku buta dan mengajariku lapang dada meneguk kopi pahitnya. Perasaanku kali ini tak enak. Aku tahu akan ada lebih banyak lagi kopi pahit yang nantinya ia berikan. Lebih dari secangkir. Bahkan bisa satu tong kopi pahit. Dan yang pasti, aku harus meminumnya lagi. Dan lagi.
            Kutatap bagaimana ia lelap dengan posisi miring, cara yang sama, menghadap ke arahku. Menenggelamkan pipi sebelah kirinya. Dan pagi hari, ada cetakan seprei di pipinya itu, kerutan kusut kain bantal yang menekannya semalanan. Sungguh, tidurnya pun membuatku tak bisa beralasan mencintai laki-laki lain. Satu lagi, secangkir kopi pahit kuminum, bahkan saat aku begitu mengagumi Herman.
             Tidak. Kuharap tidak berjalan seperti pikiranku.
            Pagi ini, kami pun sarapan bersama. Sarapan kopi tanpa gula yang selalu dibuatkannya untukku. Ada banyak kopi pahit di wajah Herman. Pada mata, lesung pipi, dan di sudut bibirnya. Ada banyak sisa kopi pahit disana.
            “Aku pulang dulu.”
            “Kapan kau akan menemuiku lagi?”
            “Aku tak tahu. Kali ini mungkin lebih lama. Kau mesti sabar menunggu. Percayalah, bila aku bisa berlari lebih cepat, aku pasti datang menemuimu.” Herman pun pergi selepas mengusap ubun-ubunku, seperti putri kecil. Ya. Putri yang menunggu pangeran pulang dari peraduannya. Aku mengangguk. Membahasakan keyakinanku yang tanpa keraguan, untuk selalu menunggunya datang.
***
            Purnama yang kelima. Sudah lima bulan ini Herman belum juga datang. Lewat pembicaraan telepon terakhir, ia bilang bahwa ia segera mendapat cuti kerja dan menemuiku. Tetapi tidak kenyataannya, ia belum juga datang. Aku takut menghubunginya, menagih janji, khawatir ia teramat sibuk dengan hidupnya disana.
            “Sampai kapan kamu akan menunggunya, Na?” Seorang sahabat datang mengunjungiku. Ardy. Aku tak tahu mengapa ia tak kunjung bosan mengunjunginku hampir tiap minggu, di hari-harinya kala libur kerja.
            Aku diam, tak menjawab pertanyaannya. Ardy benar. Sampai kapan aku mesti menunggu Herman yang hanya bisa memberi janji, menyuguhiku bercangir-cangkir kopi pahitnya.
            “Helena! Kamu perempuan pintar, cantik, mandiri. Banyak lelaki yang bersedia jadi pacar kamu. Tidak seharusnya kamu berada di balik punggung laki-laki yang tak pantas jadi tempatmu berlindung.” Begitulah Ardy yang selalu cerewet, menceramahiku dengan banyak sekali kosa kata yang tak pernah habis.
            Lagi-lagi Ardy benar. Herman bukan laki-laki yang pantas kuharapkan. Ia tak lebih dari seorang lelaki yang mesti mengatur matang pertemuannya denganku, agar tak ada seorang pun yang tahu. Sejauh ini, hanya Ardy yang mengerti kondisiku. Sebab, ia butuh jawaban rasional mengapa sejak dulu aku tak membuka hati untuknya. Terpaksa kujelaskan alasanku yang begitu menyayangi Herman, sampai tak bisa menerima cinta Ardy.
            Aku tahu, sangat sadar, tak seharusnya aku melanjutkan cintaku pada Herman. Tak seharusnya terlalu membangun mimpi terlampau tinggi untuk berharap dinikahinya. Kadang kupikir, kedatangan Ardy dengan segunung nasehatnya, bisa membuatku sedikit terbuka pada kenyataan. Tetapi tidak, pintu keyakinanku terlanjur dibanjiri oleh kopi pahit Herman. Menutup. Tertutup. Ditutup tanpa sengaja. Lalu aku kembali memilih menantinya.
            Itulah aku, Helena. Sedang jatuh cinta. Mencintai Herman. Helena yang irasional dan tak mengharap apapun.
***
            Dan pada satu waktu, Herman kembali meneleponku,
            “Helena..” ia memanggilku dengan nada yang makin gamang kali ini.
            Aku diam, tak menjawab. Pasti masih ada yang ingin dibicarakannya.
            “Dia semakin mendesakku untuk memilih.” Begitulah kalimat keduanya yang terlontar.
            “Rupanya dia tahu dengan hubungan kita yang belum juga berakhir.”
            Aku ingat, dulu kami sempat mengirim surat palsu pada istrinya, memberitakan kata “bubar” demi menenangkan hatinya. Kukirimkan surat palsu permohonan maaf dan berjanji takkan menganggu rumah tangga Herman lagi. Itu pun kulakukan atas kesepakatanku dan Herman. Agar tak ada lagi pihak yang mencurigai kami terus-terusan.
            Aku tersenyum pahit. Rupanya alibi kami tak mampu membuat istrinya percaya dan masih saja mencurigai.
            “Aku tak tahu, mungkin dia membayar orang untuk memata-matai kita. Kini kondisinya sedang parah.”
            “Helena… Dia benar-benar memaksaku memilih. Dan jika aku tak memilihnya, ia mengancam akan bunuh diri.”
            Herman, sudah  jangan kau lanjutkan.
            “Bukankan sudah berapa kali ia mengancam kamu untuk bunuh diri. Ini bukan yang pertama kalinya, Herman.” Aku menjawabnya. Berharap herman masih mau berubah pikiran.
            “Kali ini tidak. Dia mencoba mencelakakan diri dengan meminum racun tikus dan obat-obatan dalam jumlah banyak. Kali ini ia benar-benar sekarat di rumah sakit.”
            Ini dia. Inilah kalimat yang tak pernah ingin kudengar.
            “Helena…”
            Tidak, Herman cukup. Jangan kau lanjutkan.
            “Maafkan aku. Aku tak bisa meneruskannya kali ini.”
            Tidak. Aku tak ingin. Cukup.
            “Aku benar-benar minta maaf.”
            Cukup. Cukup. Tidak Herman.
            “Helena, aku tak bisa. Maafkan aku.”
            Laki-laki dengan kopi pahit itu pun menutup teleponnya perlahan, sangat pelan berharap ini tak menyakitkan untukku. Perutku teramat mual, dibuatnya kembung dengan ribuan liter kopi pahit yang kuteguk sekaligus. Herman, ini menyakitkan. Menyakitiku hingga ke pori-pori tulang.
            Aku tak mampu bangkit. Ardy benar. Tak pantas kulabuhkan hidup padanya. Menjadikannya mercu suar di lautan gelap. Menjadikannya sandaran pelabuhan hidup.
            Pipiku terasa berat dengan ribuan air mata yang menggelinding, membanjiri hatiku. Untuk pertama kalinya aku merasa teramat benci pada bayanganku sendiri. Bayanganku di cermin, yang mengejekku, menertawakan Helena yang sedari awal tak pernah percaya pada kata hatinya. Helena yang menggantungkan cintanya pada laki-laki yang kini mencampakkannya.
            Herman mungkin masih mencintaiku. Memikirkanku sebanyak yang ia bisa. Namun, keputusan yang sedari dulu tak pernah dilakukannya, kini dipilihnya. Dan sayangnya, keputusan itu adalah meninggalkanku. Keputusan yang membuatku berhenti tersengal lelah bila kupikirkan bagaimana gigihnya aku mempertahankan hubungan kami.
Aku teramat benci pada keadaan ini. Aku tahu, Herman pun mampu mengira, bahwa aku teramat terluka. Lima tahun perjalananku menyayanginya, kini tersumpal janji yang tak bisa ia jalani lagi. Perjalanan yang sia-sia.
***
            Sudah lama tak kuhabiskan waktu menatap bunga segar, yang sebenarnya berdiri setia di sekelilingku. Aku sempat lupa bagaimana caranya tersenyum. Bagaimana menjalani hari tanpa satu persen pun rasa putus asa. Beberapa waktu lumpuh akan keinginan untuk bangkit dan belajar melupakan Herman.
            Aku tak tahu sudah seberapa lama kian tertidur lelap dalam kebencian akan diriku sendiri. Berapa malam yang kulalui sambil mengkungkung wajahku dalam bantal, persis seperti caraku menghadapi ketakutan. Sudah berapa lama pula tak kuhiraukan Ardy yang setiap hari datang membawakanku kopi pahit, lengkap beserta gulanya.
            Aku lupa. Kopi pahit perlu gula. Sebenarnya aku punya banyak gula. Yang sempat terlupakan dimana tepatnya kusimpan. Gula yang sempat tertutup rapat dalam toples, erat, sangat erat, sampai pada hari ini aku baru bisa membuka tutupnya.
            Ardy benar. Aku tidak benar-benar mati. Ada titik cerah yang selalu berdiri di pelupuk mataku. Tak perlu mercu suar karena sebenarnya lautanku tak pernah gelap, ia selalu terang, dan tak pernah kering. Hatiku tak mati. Ia hanya berganti sisi menjadi lebih redup, selama beberapa waktu. Dan kini, aku siap. Aku siap tersenyum. Meneguk kopi yang tak hanya kunikmati pahitnya, tetapi juga rasa manisnya.

2 komentar:

  1. Selamat ya!!!
    Mari saling berbagi karya. Saling membaca, saling menekuni kata per kata.

    BalasHapus