Sajak Biola

Sajak Biola
(Cerpen ini dimuat di Radar Banyuwangi 22 September 2013)

            Aku menapaki jalan yang biasa ia tapaki
            Masih saja, ia tak di sini
            Tak jua datang, atau kembali
            Membawakanku sepotong kidung indah
            Dari biola yang mengalir hingga perasaannya pun
            Jatuh tepat di titik jantungku

            Laki-laki itu menyuarakan namanya pertama kali, sebelum ia rajin menyuratiku dengan senyuman yang membuatku makin tergila-gila. Begitu pada mulanya. Ia kenalkan namanya, lalu cerita kami pun dimulai.
            Saban hari ia hanya akan mendatangiku sambil membuka tas biola kesayangannya. Duduk di samping jendela kamarku berhias tirai merah muda. Lantas ia mulai melukis pagiku dengan lagu-lagu baru, yang dimainkannya.
            Sebentar saja. Jangan pergi pagi ini. Hatiku sedang kalang kabut. Aku bahkan ingin meronta dari kesedihanku ini. Laki-laki itu kemudian memainkan ayunan lagunya yang pilu. Kali ini ia pasti memainkan lagu sedih. Kelopak matanya basah, meski bulir air matanya tak menetes. Di balik jendela kamarku itu, ia nampak begitu memahami bagaimana lukanya aku. Ia tersenyum sambil mengangkat tangan kanannya yang digenggam erat. Tanda semangat. Semangat untukku.
            Aku tak mampu berlari padanya. Sudah sejak lama, setelah aku dipasung di kamar yang berseberangan dengan sungai yang mengalir. Tepat di samping sungai, kan kutemui sebilah bayangan laki-laki itu. Temanku. Sajak-sajaknya lewat alunan biola yang ia mainkan setiap pagi, semakin membuatku rindu akan tangannya yang mahir. Akan senyumnya yang penuh arti. Apakah ia merindukanku juga?
            “Jangan-jangan kamu jatuh cinta pada pemusik tak jelas itu?”
            Begitulah terakhir ayah memarahiku dengan penuh cibiran akan perasaanku yang suci. Makin hari aku hanya akan makin betah di kamar yang tak bisa membuatku berbuat apa-apa. Selain membuka jendela dan melihat laki-laki itu lagi.
            Bukankah ia hanya seorang teman? Namun, ayah menyalahkan pernyataanku. Ia semakin kejam mengurungku sepanjang sore hingga pagi.
            Pernah malam itu, laki-laki itu melempari jendela kamarku dengan kerikil kecil. Kubuka jendela itu. Laki-laki itu begitu kusut, sepertinya ia sedang terburu-buru menemuiku. Seperti biasanya. Ia memainkan sepotong lagu. Kali ini aku tahu, lagu “First Love” yang dimainkannya. Kunikmati nada demi nada dari sayatan hatinya yang sedang rindu. Aku hanya menangisinya dari balik jendela. Permainannya terhenti, ia menangis juga.
            “Jangan menangis”, jiwaku runtuh melihatmu begitu, terlebih itu semua karenaku. Kuteriaki dia dengan sepasang kata yang sama, jangan menangis, jangan menangis. Bagaimana aku bisa mengusap air matanya? Sedang jendela itu terkunci rapat. Meski ia hanya berada 20 meter saja dari kamarku. Anehnya, meski ayah mendengar tiap kali permainan biolanya dimulai, ia tak mengusirnya. Ia hanya menyuruhku jangan menghampiri laki-laki itu.
            Aku pindah ke desa kecil di Yogyakarta, tinggal di rumah yang tak jauh dari mata air yang mengalir di sebelahnya. Ayah dan ibuku selalu saja pergi ke luar kota. Aku tinggal dengan seorang pembantu saja. Bertemu dengan seorang pemain biola membuatku merasa memiliki teman. Ia hanya akan datang dan menemaniku yang tengah menulis dengan lagu-lagu digeseknya menjadi sederet notasi yang indah. Bagiku ia seperti pesulap, mampu menghapus segenap kegundahan yang menggantung di keraguan hatiku, tentang hidup.
            Pemain  biola itu pun seperti seorang raja, mampu membuat dirinya mempesona. Meski dalam keheningan tanpa kata-kata. Hanya dengan melihatnya, kau akan tahu pemuda di sampingku begitu tampan. Segaris senyumnya yang tipis, membuat aku selalu ingin menghampiri rumahnya, sanggarnya, tempat kreasinya, yang tak jauh dari rumahku, di seberang sungai itu.
            Demi membayar jerih payah jemarinya yang saban hari menggesek biola tanpa lelah untukku. Ku berikan ia sajak-sajak sederhana, sekedar ingin menukar lagunya, dengan tulisanku untuknya.
            Dia seperti malaikat tanpa sayap
            Datang, bukan hanya sebagai pelita
            Juga membawa sebingkai cinta
            Melihatnya tersenyum,
            Sepertinya aku akan bahagia
            Dengan bersandar di pundaknya
            Laki-laki itu hanya akan tersenyum dan membawa pulang potongan-potongan kertasku. Aku tak banyak mendengarnya bicara. Ia cuma pandai tersenyum. Senyum yang tulus.
            Belakangan ini ayah tahu akan kebiasaanku yang selalu bermain dengan pemain biola itu. Lantas ayah melarang setengah mati, tak lagi boleh menemuinya. Bagaimana mungkin aku tak merindukannya. Ayah tak pernah tahu seperti apa caraku jatuh cinta pada laki-laki itu. Ia hanya berani melarang, berani mengurungku seharian. Hanya memberiku makan seperti anak ayam yang pulang ke kandang setelah perutnya kenyang.
            Malam itu, badanku demam. Kepanikan ayah membuatku semakin ingin muntah saja. Mengapa ayah dan mama tak sedang ke luar kota saja kala aku sakit? Biar aku mati saja. Akankah ayah tahu bahwa aku hanya ingin menemuimu, si pemain biola. Yang tinggal di sanggar itu, yang hidup di bawah atap rumah itu, di sana, Ayah, di seberang sungai, tak jauh dari rumah kita.
            Aku bisa berjalan sendiri bila ayah tak mau mengantarku. Aku ingin berlari memeluk tubuhnya sangat erat. Aku penat dengan kesendirianku dalam sangkar tak berguna ini. Aku hanya ingin jatuh cinta. Jatuh pada cintanya. Tidakkah ayah dan mama juga pernah jatuh cinta?
            Namun, ayah tak bisa mendengar teriakanku. Teriakan batinku. Sedang aku semakin tak berdaya membuka tirai jendelaku lagi. Aku tak hanya sakit, tetapi sekarat karena lama tak memberi sajak padamu. Sajak yang sudah berhari-hari tak bisa kau baca.
            Laki-laki itu makin riuh ramai menulis kidung di atas senar biolanya. Saat aku sedang menangis di balik bantal, di bawahnya kutuliskan ucapan terima kasih lewat sajak-sajakku. Tentu saja masih tak bisa dibacanya. Aku tak bisa ke sana. Pintu kamarku terkunci, pintu jendelaku terkunci. Semuanya terkunci. Hanya ada sekotak kecil ruang ventilasi udara untukku bernafas, dan mendengar lagu-lagumu.
            Pagi itu, keadaanku mulai membaik, aku kembali duduk di balik jendela. Menunggunya datang. Seharian penuh kutunggu, ia masih saja tak datang. Apa laki-laki itu sakit? Apa ia kehabisan lagu untuk dimainkannya padaku? Dua hari ia juga tak datang. Mungkinkah ia lelah karena beberapa hari aku tak lagi membuka tirai jendelaku? Tiga hari, empat, lima hingga seminggu. Aku masih saja tak melihatnya di samping sungai.
            Usaha ayah untuk memisahkanku dengannya bisa saja berhasil. Laki-laki itu tak lagi datang. Sebulan penuh ayah mengurungku di sini. Rasanya kamar ini tak lagi jadi kamarku, tetapi lebih pantas disebut penjara yang menyakiti kulit dan menghadang kerinduanku. Padamu, laki-laki pemain biola.
            Aku buta, barangkali begitu
            Tak lagi ada bayangannya
            Di atas kursi roda yang membuatku sulit bangkit
            Ku nikmati penyakit yang menggerogoti hidupku
            Tanpa mengucap selamat tinggal
            Kamu pergi, pilu, aku hancur
            Aku tak lagi dapat makan dengan lahap, sangat tak bersemangat. Lidahku pun kaku. Mungkin aku akan mati. Tak lama lagi. Tunggu saja ayah. Lagi pula masih ada anak-anak lain yang jadi anakmu. Aku hanya anak dari seorang ibu yang meninggalkanmu karena kanker di kepalanya. Lalu, itu terjadi padaku juga.
            Sementara ayah juga tak mau mengerti. Aku tak lagi bisa menikmati sisa hidupku karena laki-laki itu pun pergi. Belum terjawab, mengapa ia pergi? Tiba-tiba tak lagi datang di balik jendelaku. Yang ku mengerti, ayah tak mau aku mencintainya. Hanya karena ia kehilangan sepotong kaki.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar