(Cerpen ini dimuat di Majalah Annida tanggal 20 Desember 2013)
Masih
kuingat betapa lembut engkau memegang tanganku yang ukurannya lebih kecil,
jemariku lebih mungil dari tangan dan jemarimu. Tak terkalahkan lembutmu
menempel pada telapak tanganku yang kerap kotor selepas bermain tanah liat.
Pagi-pagi benar, bila mataku terbangun, kau bergegas menyuruhku mandi dan
sarapan. Lalu, tiap hari minggu, kau berdandan cantik, sangat cantik, dan kau
meriasku juga. Kau bilang, “Ini hari minggu, hari kita beribadah.”
Aku
selalu berlari cepat menyusuri lorong dengan bangku-bangku kayu yang berbaris
sejajar dan simetris. Gereja itu begitu rapi, besar, altarnya pun luas. Selalu
kutapaki lorong sampai di garis depan, pun memilih duduk di bangku paling
depan, dekat altar, menghadap Tuhan. Aku ingin doaku selalu sampai lebih dulu
dibanding doa puluhan orang yang juga datang. Kau selalu mengejarku demi
menangkap tanganku yang kian nakal menggeser kursi demi kursi yang sudah ditata
rapi. Tak jarang, aku juga menaiki satu demi satu, melewati kursi seperti
bermain engklek di halaman depan rumah.
“Aline…
jangan nakal!” Kau menepuk betisku. Mungkin kau malu karena aku tak tahu
aturan. Ah, kenangan bersamamu tak pernah sampai pada garis lupa. Aku selalu
mengingatnya.
***
Bau
gereja tak pernah berubah, selalu sama. Khas. Kali ini ruangannya masih sepi,
mungkin karena aku datang terlalu pagi. Kuamati dinding berukir di sepanjang
ruangannya, juga kursi yang berjejer rapi dan simetris, persis seperti dulu.
Masih sama. Hanya saja kali ini aku datang seorang diri. Tanpamu.
Kusentuh
bangku nomor dua paling depan, tempatku duduk. Di sebelahnya, bangku nomor
tiga, biasanya kau duduk dan berdoa penuh khusyuk saat misa berlangsung.
Menyanyikan lagu demi lagu sepenuh hati. Pasti kau kesepian karena sudah
beberapa waktu tak kutemani berdoa. Gereja ini memang selalu ramai, tetapi
tidak bila kau tak bersamaku. Ada satu lubang besar yang mengiris hatimu dan
menggenapkan rasa kekuranganmu tanpaku. Aku tahu itu. Ruangan ini penuh
kenangan, lantainya, altarnya, kursi kayunya, semua mengingatkanku padamu. Tak
terkecuali.
Napasku tiba-tiba saja
tertahan. Kurasakan jantungku tertusuk sembilu. Tenggorokanku kian sempit
bahkan untuk menelan ludahku sendiri. Aku tak paham. Semakin kulangkahkan kaki
melewati bangku depan, hatiku makin sakit, persis seperti saat kau menghujamku
dengan ribuan sumpah penuh ketidakrelaan saat kuputuskan untuk hijrah.
Sebuah peti terbuka
tepat di depan mataku. Mungkinkah itu kau? Tak ingin kulanjutkan langkah menuju
sisi paling dekat dengan peti itu. Aku tahu. Kau pasti terbaring di sana.
Terbujur kaku. Tidak, tidak. Ini satu-satunya kesempatanku untuk melihatmu
terakhir kali. Aku memberanikan diri mendekati.
Puluhan orang sudah
datang memenuhi ruangan. Tadinya satu, dua, lalu belasan, dan bertambah banyak
hingga puluhan. Semua melihatku ngeri juga penuh sindiran. Apa karena pakaianku
yang warnanya tak sama dengan pakaian mereka kebanyakan? Aku datang berpakaian
biru muda. Warna kesukaanmu. Kau bilang, “Aline cantik sekali bila memakai baju
warna biru muda.” Biru seperti langit cerah. Kau juga suka pada langit.
Kakiku telah sampai di
sisi peti, dekat sekali. Kau terbaring di sana. Memejamkan mata dengan simpul
bibir menutup yang masih sama. Bibirmu kecil. Pipimu pun masih lembut dan
empuk. Rambutmu putih menyeluruh, namun menyisakan alis yang masih hitam. Kugenggam
tanganmu. Tangan yang biasanya menggenggamku erat. Bergandengan menuju bangku
paling depan untuk segera bermunajat. Lalu, kudekapkan kedua tanganku pada
pipimu yang hangat. Pipi yang masih kuingat saat ia menempel ke pipiku
sementara kau peluk tubuhku dari belakang. Kupegang pipi itu lebih lama. Kali ini
lebih lama. Karena takkan ada kesempatan lagi menyentuh pipimu yang hangat.
Mataku memejam,
menghidupkan kembali kenangan bersamamu saat kau usir aku dengan perasaan penuh
kecewa. Matamu yang biasanya teduh, damai, berangsur jengkel dan gerah pada sikapku
yang kian berubah. Pertama, kautemukan buku-buku rohani yang biasanya selalu
kubawa untuk berdiskusi. Kedua, kautemukan buku belajar membaca al-Quran di
meja kamarku. Kau jadi semakin jengkel dan marah saat jilbab warna biru muda
terlipat di bawah bantalku. Hari itu, aku benar-benar mengaku segalanya padamu.
“Aku akan masuk islam,
Ma. Perjalanan membawaku pada keputusan untuk pindah keyakinan.” Kau diam.
Tanganmu bergetar hebat. Kurasakan derak udaranya sampai di telinga.
“Apa kau sadar apa yang
kaukatakan barusan?” Aku mengangguk yakin. Keputusanku takkan salah.
“Maafkan aku, Ma.” Kau
geram. Perlahan napasmu makin pelan. Percakapan kita tak banyak hari itu. Kau
sempoyongan berjalan menuju kamar. Lalu, tak sadarkan diri.
Selepas
perbincangan terakhir kita perihal keputusanku, kau justru menghujamku dengan
ribuan kata ketidakrelaan. Kau bersumpah. Semua kalimat kemarahan kautumpahkan
pada ubun-ubunku yang mengeriput dihujam murka. Aku hanya diam. Bagaimanapun tak
boleh melawanmu. Kau tetap mamaku.
Aku
tahu kau kecewa. Karena mimpi dan harapanmu hancur oleh putrimu sendiri. Tak
hanya sekadar berharap bisa selamanya ke gereja bersama. Lebih dari itu. Kau
ingin mengajariku banyak hal untuk mengenal Tuhan. Memberitahu lebih banyak cara
bagaimana bersyukur dan merenungi kehidupan. Tapi, aku punya cara sendiri untuk
menjalaninya. Aku sama sekali tak menyalahkanmu. Keputusanku untuk hijrah pada
islam membuatmu benar-benar tak bisa memberi toleransi. Lebih-lebih ini
menyangkut pilihan hidup yang sangat bertolakbelakang denganmu. Aku tahu hari
itu kau sedang marah besar. Mencoba memahami bahwa pilihanku benar-benar
membuatmu sakit hati. Tak heran bila kau menyumpahiku dengan segudang kata
sebagai bentuk perasaan kecewa. Dan, aku memutuskan untuk pergi sementara. Berharap
hatimu lebih tenang dan berangsur menerimaku lagi. Kelak.
***
Masih
kusentuhkan kedua tanganku di pipimu. “Maafkan aku, Ma.”. Terakhir kali
kutinggalkan engkau berselimut kemarahan yang belum berkesudahan hingga setahun
lamanya. Aku memutuskan untuk pergi demi menenangkan hatimu yang risih
denganku. Putrimu yang tak lagi mau digenggam tangannya menuju bangku paling
depan untuk berdoa setiap ahad.
Orang-orang
berdatangan, makin mendekat padamu juga. Mungkin sudah terlalu lama aku di
sini. Kujatuhkan pelukan terakhirku untukmu yang sudah tak lagi bisa melihatku.
Aku memang ingin berkunjung, berniat menemuimu. Tapi tak kusangka kutemui
engkau pada keadaan yang sama sekali tak kuharapkan. Kukecup pipimu sekali lagi
sebelum akhirnya kutinggalkan kau dengan ritual pemakaman gereja. Kalung
berbentuk salib terpasang di dadamu. Entah mengapa hatiku sakit melihatnya.
Melihatmu yang sudah terlambat untuk kuajak bicara dan bercengkerama.
Aku
berdiri penuh letih. Secepatnya kutinggalkan ruangan ini. Puluhan orang masih
menatapku sinis. Tatapan mereka menusuk hatiku, menambah sakit lantaran kepergianmu.
Bila saja satu tatapan membawakanku sepuluh belati, akan ada ribuan belati yang
menikamku di ruangan ini. Mereka seperti membenciku terlalu dalam.
Angin
di ruangan membentur tubuhku yang tak kuasa menahan sedih. Puluhan bulir embun
kurasakan betul menyentuh pipiku yang makin dingin. Napasku menjejal dan
menyesakkan paru-paruku yang seolah makin sempit. Sekuat tenaga kutahan tangis
agar tak sesenggukan di ruangan yang dipenuhi banyak orang. Bulir-bulir airmata
itu kuusap berkali-kali dengan punggung tangan. Berat kulangkahkan kaki menuju
pintu keluar, meninggalkanmu. Ingin rasanya melihatmu sekali lagi. Tapi tidak,
ada puluhan tatapan hitam para pelayat yang membenciku lantaran tadi sudah
terlalu lama menatapmu, menggenggam tangan dan menyentuh pipimu.
***
Baris
demi baris doa semoga bisa mengantarnya pada tempat paling tenang. Sementara
mereka berdoa untuk Mama di sana, kutengadahkan kedua tanganku di sini. Di
rumah-Nya. Kusodorkan ribuan harap pada Allah, sang Maha Mendengar. Tuhan Mahakuasa
untuk menerima atau tidak kalimat yang kukatakan. Aku berharap Mama bisa
berbahagia, di alam manapun Mama berpijak kali ini. Bagaimanapun, aku tetap
seorang anak yang berharap doa untuk orangtuanya diijabah. Semoga.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar