Kimono Furisode
Oleh: Kiswatul Lathifah *)
Saat
usiaku 7 tahun, kukenal seorang teman kecil yang teramat cantik. Ia selalu mengenakan
sepotong kain putih yang disulapnya menjadi gaun indah selutut. Seperti
gadis-gadis kecil kebanyakan. Gadis itu berkulit bersih, kuning langsat bak
kulit kebanyakan orang Indonesia. Alis dan rambutnya tebal, tersimpul lingkar
keindahan nan manis dari bibirnya saat ia tersenyum. Ia bermata tembaga,
retinanya cokelat seperti telaga yang begitu berbinar. Lalu rambut yang tak
pernah dipangkasnya sejak kecil, diikatnya rapi dengan sepotong karet gelang
sederhana.
Gadis
itu senang dengan warna putih. Baginya putih menjadi simbol kesucian. Makna
putih yang ditanamkannya dalam jiwa membuat pikiran dan tingkah lakunya selalu
menjaga kesucian dirinya sebagai seorang perempuan. Begitulah semangatnya
bercerita. Ia selalu bercerita warna kesukaannya itu. Putih yang menyilaukan,
putih bersih dan membersihkan, putih yang bisa dibayangkannya dengan mudah
dibandingkan warna-warna lain. Meski dengan menutup mata, putri kecil itu dapat
membayangkan bagaimana putih yang disukainya.
Luh
Rimpig senang sekali bercerita. Ia berdongeng layaknya pencerita handal. Pada
teman-temannya, termasuk aku. Aku yang selalu dibius oleh kepiawaiannnya membawa
cerita, menjadikan khayalannya seperti nyata.
Suatu
siang, Luh Rimpig menggelayuti pikiran kami dengan ceritanya lagi. Kimono
Furisode.
“Para
orang tua jepang akan membelikan anak gadisnya yang telah dewasa sebuah kimono
furisode. Kimono yang dijadikan simbol bahwa putrinya siap menikah. Mungkin
nanti kalian akan memakai kimono itu juga.” Katanya.
“Tapi
kan kita orang Bali, Luh. Apa mungkin orang tua kami akan membelikan kimono di
usia 20 tahun nanti? Seperti yang kau ceritakan?”
“Mungkin
saja. Bukankah saat ini ada banyak orang Jepang di sekitarmu. Bukan tak mungkin
tiba-tiba saja Bape kita digantikan oleh orang Jepang yang bengis dan kejam
itu. Ibumu, ibumu, atau ibumu yang cantik, begitu digilai pemuda Jepang, lantas
dengan mudahnya menyingkirkan Bape dan menikahi ibu kalian.” Begitulah lanjutan
khayalan Luh Rimpig sambil menunjuk pada beberapa anak gadis diantara kami yang
sedari tadi mendengarkan ceritanya.
Beberapa
anak perempuan bergidik ngeri dan sedih membayangkan Bape mereka digantikan
oleh ayah angkat, orang Jepang. Bukan tidak mungkin memang, tentara Jepang bisa
melucuti nyawa Bape dan tinggal di keluarga Bali lalu menjadi ayah-ayah kami.
Beberapa anak disini juga telah diangkat menjadi anak tentara Jepang. Lantaran
Bape mereka tiada. Bila kelak kami dewasa, gadis-gadis itu akan dibelikannya
kimono furisode dan ditawarkannya pada lelaki-lelaki untuk dinikahi.
Khayalan
kami memang cukup jauh. Orang Bali menjunjung setinggi awan adat mereka.
Menurutku, kimono furisode tak akan dikenakan oleh gadis Bali. Namun, putri
kecil itu, Luh Rimpig tak setuju denganku. Ia bersih kukuh tetap meyakini bahwa
gadis-gadis kelak bisa menggunakan kimono itu juga.
Kimono
furisode adalah kimono resmi wanita Jepang lajang. Yang kutahu, kimono itu akan
digunakan oleh gadis Jepang setelah berusia di atas 20 tahun, menyatakan bahwa
anak gadisnya sudah dewasa dan siap untuk menikah, diperbolehkan menentukan
pilihan dan harus bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
“Aku
ingin kimonoku warnanya putih. Bersih. Terbuat dari kain sutra berkualitas
nomor satu di negeri ini.” Begitulah keinginannya.
Hari
pun semakin sore, Luh Rimpig yang lelah bercerita mengajak kami yang sedari
tadi bernaung di bawah pohon besar untuk pulang. Sudah puas kami bermain.
Rumahku yang tak jauh dari rumah Luh Rimpig membuat kami selalu pulang bersama
setiap sore. Menuntunnya perlahan sampai ia tiba di teras rumahnya.
“Terima
kasih karena sudah menemaniku pulang saban sore, Ka.” Ucapnya padaku.
“Sama-sama,
Luh. Tiang pulang dulu. Sampai bertemu besok.” Lalu aku hanya akan menatapnya
semakin jauh, menyingkir dari tempatnya berdiri, menyaksikan tatapannya yang
entah kemana. Luh Rimpig memiliki mata yang jernih, berbinar dan berkilauan
seperti mata air yang bersih. Tatapan yang membuat teman-temannya begitu
mengasihinya hingga kini, termasuk aku.
***
Umurku kini sudah 17
tahun. Aku masih setia berteman dengan Luh Rimpig. Kini ceritanya bukan hanya
celoteh anak kecil dengan bayangan sederhana. Nampaknya ia juga telah melupakan
impiannya memakai kimono furisode. Tentara jepang sudah tak lagi hinggap di
bumi Bali. Mereka perlahan menyingkir sejak kemerdekaan republik ini. Luh
Rimpig tumbuh menjadi seorang gadis yang cemerlang, cantik dan menawan. Aku
melihatnya sebagai perempuan cerdas yang pandai menginsipirasi banyak orang
lewat cerita-cerita yang dilontarkannya.
Luh
Rimpig semakin sering bersamaku. Meme dan Bapenya termat pasarah bila tahu Luh
Rimpig akan ke sanggar diantar olehku. Kini ia juga seorang pemahat kayu. Kini
ia bisa meraba dimensi khayalannya yang mencuatkan ribuan cerita bukan hanya
pada pendengaran manusia, tetapi juga lewat pahatan-pahatan kayunya yang luar
biasa. Sedangkan aku, sibuk bersekolah dan akan menjemputnya kembali di sanggar
sepulang sekolah.
Suatu hari, aku tak
kuasa menahan sebongkah perasaan yang sesak, nampaknya perasaan ini akan lebih
cepat menua bila tak segera kulempar keluar. Ia menusuk jantungku dengan hujatan
jarum maya yang menyakitkan. Memaksa untuk dilahirkan. Ia hanya akan meletup
keras setiap kali kutatap Luh Rimpig. Temanku yang amat jelita. Hingga
kulontarkan kata-kata yang semakin hari menyesakkan batinku padanya.
Aku menyukainya.
Tidakkah wajar bila laki-laki sepertiku menyukai perempuan jelita yang teramat
mandiri akan hidupnya. Meski ia tinggal bersama kedua orang tuanya, Luh Rimpig
tak lagi menumpang hidup lantaran adik-adiknya yang teramat banyak, semuanya
bersekolah. Hanya ia yang menghabiskan waktu dalam sanggar yang jadi tempatnya lahirkan
karya. Patung-patung pahatannya sangat laku dijual. Terlebih karena keunikan
penciptanya, Luh Rimpig, seorang gadis buta.
“Berulang kali
kukatakan bahwa aku tak bisa memberikan hatiku padamu, Ka.” Begitu jawabnya.
“Aku tahu kamu begitu
baik padaku, tetapi sungguh, aku benar-benar tak bisa menyodorkan hati bahkan
untuk sekedar meminjamkan cinta padamu.”
Aku begitu tertohok,
kalimat penolakan yang diserbukannya berulang kali membuat harga diriku
terinjak oleh seorang perempuan sepertinya. Anehnya, kala ia memintaku untuk mengantarkannya
pulang, dengan lengkung senyum di wajahnya, aku tak kuasa menolak.
Selepas itu, keadaan
kami bukan lagi terjalin dalam keakraban. Menjadi penolakan terpatri dalam
hatiku, untuk tak lagi menemuinya. Keadaan yang berubah dari dekat menjadi jauh.
Selama bertahun-tahun ke depan, meski rumah kami berdekatan.
***
Kutinggalkan
Bali dan hijrah ke Jawa. Kulupakan semua cerita tentang Luh Rimpig. Lagipula ia
sudah bisa pulang sendiri, sudah ada yang mengantarkannya pulang. Seorang
laki-laki tua pemahat kayu yang kerap membantunya di Sanggar. Aku juga tak
khawatir, Luh Rimpig pasti dianggapnya sebagai anak gadisnya. Melihatnya dengan
penuh kasih sayang.
Meski
luka padanya lamat-lamat tersamarkan oleh kesibukanku di kota orang, aku tak
kunjung mampu mencoba mencintai perempuan lain setulus cintaku pada Rimpig. Sudah
tiga tahun tak kukirim kabar padanya. Barangkali dia juga telah bahagia,
menyelami dirinya sebagai pemahat kayu yang teramat dikenal di Bali. Namanya
kian besar, siapa yang tak kenal Luh Rimpig, si buta yang piawai bermain-main
dengan perasaannya sebagai seniman. Menggabungkan imanjinasi di otaknya yang
dipahatnya dalam karya luar biasa. Entah darimana ia bisa begitu, padahal
sedari kecil, Luh Rimpig tak bisa melihat. Ia hanya bisa membayangkan warna
putih dan hitam, yang keduanya berlawanan, terang dan gelap. Ia tak lagi jadi
pendongeng, semua cerita dalam kepalanya dihujam melalui guratan pisau yang menari
di atas pahatan kayunya.
Rimpig
benar, ia pernah bilang tak bisa menyodorkan hatinya untukku, bahkan untuk
meminjamkan cinta. Beberapa tahun tak melihatnya, meninggalkannya dengan
sederetan aktivitas logis, tak membuatku sehari saja mengibaskan cerita
tentangnya. Tentang alur hidup yang terbiasa kami lalui dulu. Cinta bahkan
membuatku menjadi tak rasional, saat kerinduanku padanya seketika menggunung
beradu pilu melukai perasaan.
Serentetan
pemikiran justru membuatku ingin pulang, kembali mengajaknya bersama dengan
untaian kata cinta yang kuhadiahkan. Mengucap janji paling komplit untuk hidup
bersamanya. Ketika kusampai pada titik itu, hatiku kembali melambaikan tangan,
melarang. Sekali penolakan tetap penolakan. Bahkan, untuk kembali dekat seperti
teman, aku lebih memilih menjaga jarak.
Beberapa
tahun ini, bukan berarti aku terbiasa, namun hatiku lebih sering melarang untuk
pulang, menoleh ke depan rumah Luh Rimpig, bahkan untuk membawakannya sedikit
oleh-oleh dari tanah Jawa.
Hingga
suatu hari, kudengar kabar, putri kecil yang bergelayut dalam ingatanku itu
akan menikah. Aku tak tahu mesti menempatkan hatiku dimana, di antara batas
pojok senang dan kecewa, dan di tengah-tengahnya ada rindu yang membengkak
tumbuh di sana. Aku tak tahu mesti
menempatkan senyumku dalam ruang mana, ruang putih yang berbahagia dan dengan
mata berkilauan memberinya ucapan selamat, atau ruang hitam dan terjebak dalam
kehancuran, atau bahkan di tengah-tengahnya, abu-abu antara berharap ia bahagia
atau khawatir akan kehidupannya bersama suaminya yang tak kukenal.
Kupaksakan
diri untuk pulang. Sudah tiga tahun kuhabiskan waktu untuk tak menatapnya,
tepat setelah lulus SMA, aku tak kembali lagi. Kutinggalkan Luh Rimpig tanpa
sepotong kata selama tinggal atau sampai jumpa. Teman-temanku sempat titip
salam, bahwa Luh Rimpig teramat kecewa karena kepergianku yang tiba-tiba.
Itu
bukanlah tiba-tiba, Luh. Aku memang sengaja pergi jauh dari kehidupanmu,
sekedar untuk melepas luka atas penolakanmu saat itu. Bukankah di malam yang
sama dulu pernah kukatakan, bahwa keadaan kita setelah ini takkan lagi sama.
Maksudnya adalah aku yang akan menjauh. Karena tak kuasa menahan malu.
Baiklah,
mungkin ini saat yang tepat. Aku harus pulang. Kupasang topeng tebal demi
menahan kekesalan dan kecewa karena telah ada laki-laki yang bisa meminjam
hatimu, untuk hidup beberapa waktu ke depan. Walau sebenarnya kau takkan bisa
melihat wajahku, namun kau pasti bisa merasakan bahwa aku teramat sedih dengan
kabar pernikahanmu itu.
***
Tabanan
cukup berubah dalam tiga tahun terakhir. Penduduk kian banyak hinggap di tempat
kami yang tadinya cukup sepi. Rumah-rumah semakin berdiri kokoh, indah, khas
Bali, dengan dibangun Sanggah Pemerajan
di setiap rumah. Banyak yang kutinggalkan, banyak pula yang berubah. Lamunanku
sempat buyar saat kulihat tetanggaku makin banyak saja.
Beberapa
teman menyambutku girang, terkecuali Luh Rimpig. Beberapa jam lagi adalah
upacara pernikahannya. Tak lama lagi. Cintanya akan berserah pasrah pada pemuda
yang dirasanya cocok.
“Oka,
apa kau sudah kenal siapa calon Rimpig?” temanku Gede yang sudah sedari tadi
menemaniku membagikan oleh-oleh pada beberapa teman dekat kami.
Aku
menggeleng tanda tak tahu. Kukatakan padanya bahwa jelas saja aku tak tahu. Tak
kenal, dan tak pernah melihatnya. Aku tak mau tahu, yang pasti akan selalu
kuyakini bahwa Rimpig lebih berbahagia dengannya dibanding harus menukar
hidupnya untuk mencintaiku.
Tak
bisa kutepis kabar, bahwa keluarga besar Rimpig menolak pemudanya, menentangnya
setengah mati. Namun, apalah daya. Rimpig yang tengah hamil tak mungkin
membiarkan boneka yang hidup dalam rahimnya terus membesar, hingga akhirnya
pernikahan itu terpaksa dilangsungkan.
Aku
gemetar bukan kepalang. Kedatanganku sejak tadi pagi hingga sore kini, baru akan
kutemui Rimpig dalam balutan busana pernikahan adat Bali. Ia pasti amatlah
cantik. Meski aku ingin membuang muka di hari bahagianya itu, aku tetap tak kuasa membawa kerinduan untuk
menatap wajahnya, barang sekejap, meski harus melihatnya di suasana yang tidak
tepat.
Dan
Luh Rimpig pun muncul di hadapanku.
Aku
teramat kaget. Tak tahu mesti meratapi hari bahagianya, Rimpig yang bersenang-senang.
Kupikir ia akan lupa dengan ceritanya dulu. Kimono furisode. Luh Rimpig,
perempuan itu sangat memukau dibalut kimononya. Warna putih, warna yang teramat
disukainya. Ia melangsungkan pernikahannya dengan adat Bali, tetapi tidak
dengan pakaiannya. Kimono furisode warna cerah itu teramat cantik membingkai
kulitnya yang berseri. Terbuat dari bahan sutra berkualitas. Berkilauan.
Seperti matahari terik di tengah sore. Entah darimana ia mendapatkannya.
Namun,
bukan itu yang membuat hatiku teramat kaget.
Luh,
ia menikah dengan lelaki yang dulu kerap mengantarkannya pulang. Lelaki yang
kupikir menyayangi Rimpig seperti cinta Bape pada putrinya. Lelaki tua yang
juga pemahat kayu di sanggar yang sama dengannya. Lelaki yang seumuran dengan
Bapenya, yang menikahinya saat ini.
***
“Sewir
namanya. I Gede Sewir. Ia simbol keindahan yang teramat kusayangi. Ia tak
ubahnya sepotong kayu kasar yang siap kujadikan seni lain, karya yang yang tak
hentinya kubuat. Bagiku, ia lebih dari sekedar inspirasi. Kau tahu? Saat aku
menyentuhnya, tekstur kulitnya mirip sekali seperti bahan imajinasiku yang
mentah. Kayu-kayu itu. Lantas aku mencintainya, dan menyerahkan segenap hidupku
padanya. Darinya aku banyak memperoleh keindahan. Terlebih, saat kami akan menikah,
Sewir berjanji memberiku kimono furisode, yang teramat kuimpikan. Sewir
menghadiahkan itu, langsung dipesannya dari negeri Jepang, warna putih, terbuat
dari bahan sutra kualitas nomor satu.”
Begitulah
tuturnya padaku, di satu pagi yang cerah, sehari setelah pernikahannya.
Kusodorkan hadiah kecil padanya. Kalau hanya sekedar kimono furisode, aku juga
mampu membelikannya utukmu, Luh.
Benar.
Luh Rimpig tak bisa jatuh cinta karena parasnya. Ia gadis buta yang mencintai
cerita dan melenggokkan pisaunya pada bongkah demi bongkah kayunya. Dan ia
mencintai Sewir. Laki-laki itu bagiku tak lebih dari seorang lelaki tua yang
keriput. Kulitnya kasar penuh bekas luka di sekujur tubuhnya. Kabarnya,
bekas-bekas luka di sekujur tubuhnya itu karena ia sempat menjadi pejuang dan
kerap tergilas pisau di sekujur kulitnya. Bagiku Sewir jauh dari kesempurnaan
laki-laki. Tubuhnya kerdil dan membungkuk. Tak lebih dari sepotong kayu kasar
tanpa keindahan. Badannya yang tak kekar, tak tampak liuk moleknya. Sayangnya,
Luh Rimpig teramat mencintainya. Mencintai sumber inspirasinya.
*)
Anggota Komunitas Penulis Muda Situbondo-Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar