Lama kupandang cicak yang baru saja
jatuh di pelupuk pundak. Pandangannya aneh, ia dendam, marah, seakan ingin
menjatuhiku dengan ribuan kesialan. Barangkali ia lapar. Cicak itu berwarna
hitam, memiliki noktah gelap di sekujur kulitnya. Kata orang, kejatuhan cicak
berarti akan mendapat sial. Tapi aku tak terlalu pikirkan itu. Segera kuambil
wudhu dan sholat dua rakaat, anggap saja untuk menolak kesialan yang dibawa
cicak petang ini.
***
Kue lepet, di Kampung
Baru, wajib dibawa lelaki untuk melamar seorang perempuan. Betapa banyak
kue-kue lain yang lebih enak, namun lepet masih tak tergantikan pada acara
khitbah adat Madura. Sampai detik ini, aku terus menolak hantaran kue lepet
yang disuguhkan beberapa pria. Mereka datang menghatur janji, menjual kalimat
indah ini dan itu. Tapi aku tetap punya alasan lebih banyak untuk menolak,
lantaran hanya menunggu kue lepet dari kamu, Samsul.
Kue
lepet berbahan beras ketan mirip lontong, dibalut janur kelapa dan
bertusuk peniti. Beberapa orang ada yang
mengunci lilitan daun pembungkusnya dengan tali
ember. Kesungguhan pelamarnya dilihat dari kue lepet yang dibawanya.
Bila terikat tali, itu berarti hubungan mereka dapat putus, karena dengan sekali
tarik, tali pun rusak dan terbuka. Berbeda bila kau mengakhirinya dengan
selembar peniti. Itu simbol kesungguhan, peniti tak mudah lepas. Hingga kue
lepet tetap rapat, hubungan pun akan kekal, dimungkinkan takkan bercerai. Entah
darimana masyarakat mengartikan demikian. Aku tak tahu.
Masih
kuingat, kau melempar janji di satu petang, di rumah-rumahan sawah tempat kita
mengawasi ladang masing-masing. “Aku akan melamarmu. Percayalah!” Janjimu sore
itu. Kau laki-laki jujur, tentu dengan mudah kupercaya. Sejak kudengar
perkataanmu itu, sangat teguh kupegang janjiku menunggumu hingga kau siap
melayangkan kue lepet pada Bapak dan Emakku.
Beberapa
hari selepas waktu kelulusan SMA, kau datang dengan wajah paling riang. Kau
tersenyum lebar sambil membawa selembar surat yang kau pegang di tangan kananmu.
Setengah berlari menujuku, bersorak ramai membawa kabar bahwa kau mendapat
beasiswa untuk sekolah di perguruan tinggi.
Kabar keberangkatanmu
pun sangat cepat menyebar ke seluruh warga Kampung Baru. Bapak dan Emakmu
teramat girang tak ketulungan. Mereka membawakanmu bekal teramat banyak,
mengantarmu dengan mobil sayur pergi ke kota. Kau bahkan lupa untuk berpamitan
padaku pagi itu, mungkin karena terlalu disibukkan dengan persiapanmu kuliah.
Aku coba memahami saja. Walau sejujurnya aku teramat sedih karena kau tak
sempat memperhatikanku yang tengah duduk di rumah-rumahan sawah, tempat kita
biasanya menghabiskan waktu mengawasi ladang masing-masing.
Aku
memilih menunggumu saja. Menunggu hingga kau datang dengan ilmu yang lebih
tinggi tentunya, bersimboliskan gelar sarjana. Kuputuskan untuk melanjutnya
keterampilanku menjahit. Demi membantu perekonomian Bapak dan Emak yang hanya
punya sedikit ladang, aku menerima jahitan beberapa tetangga dan dari kampung
sebelah. Makin lama pesanan jahitanku makin ramai.
Lepas
enam bulan keberangkatanmu ke kota, kau pulang. Kau menemuiku di rumah-rumahan
sawah, membawa oleh-oleh khas kota belajarmu. Penampilanmu kini berubah.
Sedikit bergaya ala anak ibu kota. Bahkan, untuk menemuiku di sawah, kau pakai
bajumu yang wangi dan mahal. Aku tahu mereknya, sering kulihat beberapa kali di
katalog milik Mbak Neli, tetangga yang menjual pakaian online.
Sejauh
ini, hantaran kue lepet dari pemuda yang hendak meminangku kerap datang
bergantian. Aku selalu menolak. Sejujurnya, menjadi perempuan yang diam di
rumah dan tak melanjutkan sekolah kerap memberi pandangan bahwa dirinya siap
dipinang orang. Aku nyaris kehabisan alasan, sebab aku tak bersekolah
sepertimu, tak ada yang kutunggu. Tapi aku perempuan yang setia, bila hari ini
kukatakan bahwa aku tak siap menikah muda, lain hari kukatakan bahwa aku ingin
mengabdi terlebih dahulu pada Bapak dan Emak sebelum mengabdi pada suamiku.
Pertemuan
kita makin terbatas. Lebih-lebih kesibukanku sebagai tukang jahit seringkali
tak bisa menjumpaimu lama-lama di rumah-rumahan sawah. Pernah sekali bertemu,
kau membicarakan teman-temanmu di sana, yang datang dari beraneka kota, suku
yang berbeda pula. Kau pun sering menceritakan teman lelaki dan perempuanmu
yang tinggal satu kamar bersama padahal mereka belum menikah. Sejujurnya aku
ngeri, tak percaya. Namun, itulah kebiasaan anak jaman sekarang yang membikin
aturan sendiri mengenai kebebasan mereka. Merasa memiliki, padahal bukan
miliknya. Semoga saja kau tak begitu.
“Aku
bawakan kamu oleh-oleh lagi. Sepertinya kamu makin kurus. Kamu sakit?” Aku
menggeleng. Kau benar. Aku memang makin kurus. Terlebih kau datang disaaat
pekerjaanku sedang menumpuk menyelesaikan beberapa pesanan jahitan murid-murid
yayasan. Bahkan, aku hanya bisa tidur barang 3-4 jam semalam, karena mereka
minta diselesaikan cepat.
“Aku
cukup sibuk menjahit beberapa pesanan akhir-akhir ini. Sampai tak sempat
makan.” Kau mengusap ubun-ubunku dan memegang pundakku. Dulu, kau bahkan tak
berani menyentuh bagian tubuhku selain untuk berjabat tangan saja. Di Kampung
Baru, persoalan agama menjadi aturan tertinggi bagi masyarakat. Melihat
anak-anaknya berjalan berdua dengan teman bukan muhrim saja, mereka serta merta
mengadu dan saling menegur, tak jarang saling membicarakan satu sama lain, menjelek-jelekkan.
Karena itulah sejauh ini kita hanya berani bertemu di rumah-rumahan sawah,
beralasan mengawasi ladang masing-masing.
***
Hampir setahun kau tak
pulang. Kabarmu pun semakin hilang. Pernah satu waktu kau pulang namun tak
menemuiku seperti biasanya di rumah-rumahan sawah. Barangkali kau lupa. Tapi
tak mungkin. Aku tinggal satu kampung denganmu. Tak mungkin kau tak sempat
menemuiku barang sekejap. Setahun kau tak datang menemui, aku masih maklum.
Namun, ini sudah tahun kedua. Lupakah kau denganku yang masih menunggu
pertemuan-pertemuan kita?
Kalau hitunganku benar,
ini sudah tahun keempat pendidikanmu, itu artinya kau akan segera lulus. Semoga
tak ada halangan. Bukankah kau sekolah karena beasiswa? Sudah pasti mereka
hanya menargetkanmu selesai hingga delapan atau sembilan semester saja.
Kali ini kau
benar-benar tak pulang. Ah, mungkin saja kau sibuk menyelesaikan tugas akhirmu.
Semoga saja begitu. Aku tak pernah punya pikiran macam-macan tentangmu. Kau
tetap Samsul, laki-laki jujur dan dapat kupercaya. Walau sesekali aku merasa
lelah menunggu kabar kepulanganmu. Sudah yang kesekian kalinya kutolak lamaran
pria, bahkan ada pria seberang yang teramat kaya dan punya gelar sarjana,
hendak meminangku. Lagi-lagi kutolak hantaran kue lepet itu sebab masih
menunggumu. Bisa saja kali ini kau tak pulang karena menginginkan tugas akhirmu
segera selesai, lalu kau akan meminangku. Semoga.
Sejujurnya aku kerap
gelisah. Mengapa sampai kau tak sempat pulang barang sehari dua hari saja? Toh
Surabaya-Madura tak seberapa jauh jaraknya. Kau bahkan tak pernah berkirim
kabar. Biasanya kau titip salam pada Salim, teman di kampung tetangga yang juga
peroleh beasiswa sepertimu. Tapi kali ini, meski Salim datang, ia bilang kau
tak titip salam untukku. Aku sedikit kecewa. Tapi sudahlah, mungkin kau
mengalihkan pengeluaranmu untuk hal lain, untuk skripsi misalnya.
Sampai pada satu siang,
keluargamu berbondong-bondong hendak pergi berkunjung padamu. Mungkinkah esok
kau diwisuda? Mengapa tak kau kabariku juga? Bahkan untuk berbagi kegembiraan,
kau benar-benar lupa. Sudah lebih dari dua tahun kau tak kirim kabar.
Tak tangung-tanggung, mereka
menyewa dua mobil demi mengunjungimu di sana. Pasti kabar gembira, kalau tidak,
manalah mungkin mereka sampai beramai-ramai datang ke ibu kota. Tapi mengapa
wajah mereka terkesan tak nyaman dilihat? Semuanya pun terasa terburu-buru dan
mendadak. Mobil Pak Kades baru disewa keluargamu tadi malam. Kutanya pada
beberapa tetangga dekatmu, mereka bilang Bapak dan Emakmu mesti segera menikahkanmu
dengan perempuan pulau seberang, Lombok.
Aku tak percaya.
Bagiku, kau laki-laki jujur dan dapat dipercaya. Tapi tetanggamu itu juga tak
pernah berkata bohong. Tak puas dengan kabar seorang, kutanyakan langsung pada
Bu Kades, beliau pun menjawab sama. Samsul akan menikah. Keluarganya
berbondong-bondong pergi ke pulau Lombok demi meminang kekasihnya.
Hatiku teramat sedih.
Bukankah aku masih kekasihmu? Yang kerap bertemu denganmu di rumah-rumahan
sawah beralasan mengawasi ladang masing-masing? Bukankah aku sudah sangat setia
menolak pinangan para pemuda yang bahkan lebih tampan bahkan jauh lebih kaya
darimu? Mengapa tiba-tiba saja kau beringsut menyingkir dan tak memberi kabar
apapun? Pantas saja akhir-akhir ini Salim selalu menghindar bila berpapasan denganku.
Mungkin dia sudah tahu sesuatu tentangmu di sana. Tentang kabar
perselingkuhanmu dengan gadis lain. Ya.
Benar. Salim. Mesti kutanya dia juga. Kudatangi rumahnya selepas mengantar
jahitan. Awalnya Salim menolak menjelaskan, tapi karena air mataku makin
berderai, ia pun bercerita.
“Samsul mencintai
seorang perempuan, teman kuliahnya. Hampir tiga tahun mereka menjalin hubungan.
Samsul dan dia juga kerap tinggal dalam satu kamar saja. Sampai pada satu
waktu, si Gadis hamil dan minta dinikahi.”
Setetes
air menyerupai angka nol kian menyembul dari mataku. Aku tak percaya kau menukar semua kesetiaanku dengan gadis
dari pulau seberang. Kau bahkan benar-benar sudah lupa, bertahun-tahun kutunggu
pinanganmu dan mengabaikan pinangan orang lain demi menantimu menjadi seorang
sarjana dan siap menikahiku. Bahkan, perempuan itu lebih mahal, tak seharga
dengan kue lepet yang sederhana. Ia dipinang dengan seperangkat perhiasan yang
menghabiskan satu ladang bapakmu terjual. Aku menangis sembari berucap kalimat istighfar ribuan kali, menahan
perasaanku yang meledak-ledak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar