Kue Lepet

(Cerpen ini dimuat di Majalah Annida tanggal 20 November 2013)

Lama kupandang cicak yang baru saja jatuh di pelupuk pundak. Pandangannya aneh, ia dendam, marah, seakan ingin menjatuhiku dengan ribuan kesialan. Barangkali ia lapar. Cicak itu berwarna hitam, memiliki noktah gelap di sekujur kulitnya. Kata orang, kejatuhan cicak berarti akan mendapat sial. Tapi aku tak terlalu pikirkan itu. Segera kuambil wudhu dan sholat dua rakaat, anggap saja untuk menolak kesialan yang dibawa cicak petang ini.
***
Kue lepet, di Kampung Baru, wajib dibawa lelaki untuk melamar seorang perempuan. Betapa banyak kue-kue lain yang lebih enak, namun lepet masih tak tergantikan pada acara khitbah adat Madura. Sampai detik ini, aku terus menolak hantaran kue lepet yang disuguhkan beberapa pria. Mereka datang menghatur janji, menjual kalimat indah ini dan itu. Tapi aku tetap punya alasan lebih banyak untuk menolak, lantaran hanya menunggu kue lepet dari kamu, Samsul.
            Kue lepet berbahan beras ketan mirip lontong, dibalut janur kelapa dan bertusuk  peniti. Beberapa orang ada yang mengunci lilitan daun pembungkusnya dengan tali  ember. Kesungguhan pelamarnya dilihat dari kue lepet yang dibawanya. Bila terikat tali, itu berarti hubungan mereka dapat putus, karena dengan sekali tarik, tali pun rusak dan terbuka. Berbeda bila kau mengakhirinya dengan selembar peniti. Itu simbol kesungguhan, peniti tak mudah lepas. Hingga kue lepet tetap rapat, hubungan pun akan kekal, dimungkinkan takkan bercerai. Entah darimana masyarakat mengartikan demikian. Aku tak tahu.
            Masih kuingat, kau melempar janji di satu petang, di rumah-rumahan sawah tempat kita mengawasi ladang masing-masing. “Aku akan melamarmu. Percayalah!” Janjimu sore itu. Kau laki-laki jujur, tentu dengan mudah kupercaya. Sejak kudengar perkataanmu itu, sangat teguh kupegang janjiku menunggumu hingga kau siap melayangkan kue lepet pada Bapak dan Emakku.
            Beberapa hari selepas waktu kelulusan SMA, kau datang dengan wajah paling riang. Kau tersenyum lebar sambil membawa selembar surat yang kau pegang di tangan kananmu. Setengah berlari menujuku, bersorak ramai membawa kabar bahwa kau mendapat beasiswa untuk sekolah di perguruan tinggi.
Kabar keberangkatanmu pun sangat cepat menyebar ke seluruh warga Kampung Baru. Bapak dan Emakmu teramat girang tak ketulungan. Mereka membawakanmu bekal teramat banyak, mengantarmu dengan mobil sayur pergi ke kota. Kau bahkan lupa untuk berpamitan padaku pagi itu, mungkin karena terlalu disibukkan dengan persiapanmu kuliah. Aku coba memahami saja. Walau sejujurnya aku teramat sedih karena kau tak sempat memperhatikanku yang tengah duduk di rumah-rumahan sawah, tempat kita biasanya menghabiskan waktu mengawasi ladang masing-masing.
            Aku memilih menunggumu saja. Menunggu hingga kau datang dengan ilmu yang lebih tinggi tentunya, bersimboliskan gelar sarjana. Kuputuskan untuk melanjutnya keterampilanku menjahit. Demi membantu perekonomian Bapak dan Emak yang hanya punya sedikit ladang, aku menerima jahitan beberapa tetangga dan dari kampung sebelah. Makin lama pesanan jahitanku makin ramai.
            Lepas enam bulan keberangkatanmu ke kota, kau pulang. Kau menemuiku di rumah-rumahan sawah, membawa oleh-oleh khas kota belajarmu. Penampilanmu kini berubah. Sedikit bergaya ala anak ibu kota. Bahkan, untuk menemuiku di sawah, kau pakai bajumu yang wangi dan mahal. Aku tahu mereknya, sering kulihat beberapa kali di katalog milik Mbak Neli, tetangga yang menjual pakaian online.
            Sejauh ini, hantaran kue lepet dari pemuda yang hendak meminangku kerap datang bergantian. Aku selalu menolak. Sejujurnya, menjadi perempuan yang diam di rumah dan tak melanjutkan sekolah kerap memberi pandangan bahwa dirinya siap dipinang orang. Aku nyaris kehabisan alasan, sebab aku tak bersekolah sepertimu, tak ada yang kutunggu. Tapi aku perempuan yang setia, bila hari ini kukatakan bahwa aku tak siap menikah muda, lain hari kukatakan bahwa aku ingin mengabdi terlebih dahulu pada Bapak dan Emak sebelum mengabdi pada suamiku.
            Pertemuan kita makin terbatas. Lebih-lebih kesibukanku sebagai tukang jahit seringkali tak bisa menjumpaimu lama-lama di rumah-rumahan sawah. Pernah sekali bertemu, kau membicarakan teman-temanmu di sana, yang datang dari beraneka kota, suku yang berbeda pula. Kau pun sering menceritakan teman lelaki dan perempuanmu yang tinggal satu kamar bersama padahal mereka belum menikah. Sejujurnya aku ngeri, tak percaya. Namun, itulah kebiasaan anak jaman sekarang yang membikin aturan sendiri mengenai kebebasan mereka. Merasa memiliki, padahal bukan miliknya. Semoga saja kau tak begitu.
            “Aku bawakan kamu oleh-oleh lagi. Sepertinya kamu makin kurus. Kamu sakit?” Aku menggeleng. Kau benar. Aku memang makin kurus. Terlebih kau datang disaaat pekerjaanku sedang menumpuk menyelesaikan beberapa pesanan jahitan murid-murid yayasan. Bahkan, aku hanya bisa tidur barang 3-4 jam semalam, karena mereka minta diselesaikan cepat.
            “Aku cukup sibuk menjahit beberapa pesanan akhir-akhir ini. Sampai tak sempat makan.” Kau mengusap ubun-ubunku dan memegang pundakku. Dulu, kau bahkan tak berani menyentuh bagian tubuhku selain untuk berjabat tangan saja. Di Kampung Baru, persoalan agama menjadi aturan tertinggi bagi masyarakat. Melihat anak-anaknya berjalan berdua dengan teman bukan muhrim saja, mereka serta merta mengadu dan saling menegur, tak jarang saling membicarakan satu sama lain, menjelek-jelekkan. Karena itulah sejauh ini kita hanya berani bertemu di rumah-rumahan sawah, beralasan mengawasi ladang masing-masing.
***
Hampir setahun kau tak pulang. Kabarmu pun semakin hilang. Pernah satu waktu kau pulang namun tak menemuiku seperti biasanya di rumah-rumahan sawah. Barangkali kau lupa. Tapi tak mungkin. Aku tinggal satu kampung denganmu. Tak mungkin kau tak sempat menemuiku barang sekejap. Setahun kau tak datang menemui, aku masih maklum. Namun, ini sudah tahun kedua. Lupakah kau denganku yang masih menunggu pertemuan-pertemuan kita?
Kalau hitunganku benar, ini sudah tahun keempat pendidikanmu, itu artinya kau akan segera lulus. Semoga tak ada halangan. Bukankah kau sekolah karena beasiswa? Sudah pasti mereka hanya menargetkanmu selesai hingga delapan atau sembilan semester saja.
Kali ini kau benar-benar tak pulang. Ah, mungkin saja kau sibuk menyelesaikan tugas akhirmu. Semoga saja begitu. Aku tak pernah punya pikiran macam-macan tentangmu. Kau tetap Samsul, laki-laki jujur dan dapat kupercaya. Walau sesekali aku merasa lelah menunggu kabar kepulanganmu. Sudah yang kesekian kalinya kutolak lamaran pria, bahkan ada pria seberang yang teramat kaya dan punya gelar sarjana, hendak meminangku. Lagi-lagi kutolak hantaran kue lepet itu sebab masih menunggumu. Bisa saja kali ini kau tak pulang karena menginginkan tugas akhirmu segera selesai, lalu kau akan meminangku. Semoga.
Sejujurnya aku kerap gelisah. Mengapa sampai kau tak sempat pulang barang sehari dua hari saja? Toh Surabaya-Madura tak seberapa jauh jaraknya. Kau bahkan tak pernah berkirim kabar. Biasanya kau titip salam pada Salim, teman di kampung tetangga yang juga peroleh beasiswa sepertimu. Tapi kali ini, meski Salim datang, ia bilang kau tak titip salam untukku. Aku sedikit kecewa. Tapi sudahlah, mungkin kau mengalihkan pengeluaranmu untuk hal lain, untuk skripsi misalnya.
Sampai pada satu siang, keluargamu berbondong-bondong hendak pergi berkunjung padamu. Mungkinkah esok kau diwisuda? Mengapa tak kau kabariku juga? Bahkan untuk berbagi kegembiraan, kau benar-benar lupa. Sudah lebih dari dua tahun kau tak kirim kabar.
Tak tangung-tanggung, mereka menyewa dua mobil demi mengunjungimu di sana. Pasti kabar gembira, kalau tidak, manalah mungkin mereka sampai beramai-ramai datang ke ibu kota. Tapi mengapa wajah mereka terkesan tak nyaman dilihat? Semuanya pun terasa terburu-buru dan mendadak. Mobil Pak Kades baru disewa keluargamu tadi malam. Kutanya pada beberapa tetangga dekatmu, mereka bilang Bapak dan Emakmu mesti segera menikahkanmu dengan perempuan pulau seberang, Lombok.
Aku tak percaya. Bagiku, kau laki-laki jujur dan dapat dipercaya. Tapi tetanggamu itu juga tak pernah berkata bohong. Tak puas dengan kabar seorang, kutanyakan langsung pada Bu Kades, beliau pun menjawab sama. Samsul akan menikah. Keluarganya berbondong-bondong pergi ke pulau Lombok demi meminang kekasihnya.
Hatiku teramat sedih. Bukankah aku masih kekasihmu? Yang kerap bertemu denganmu di rumah-rumahan sawah beralasan mengawasi ladang masing-masing? Bukankah aku sudah sangat setia menolak pinangan para pemuda yang bahkan lebih tampan bahkan jauh lebih kaya darimu? Mengapa tiba-tiba saja kau beringsut menyingkir dan tak memberi kabar apapun? Pantas saja akhir-akhir ini Salim selalu menghindar bila berpapasan denganku. Mungkin dia sudah tahu sesuatu tentangmu di sana. Tentang kabar perselingkuhanmu dengan gadis lain. Ya. Benar. Salim. Mesti kutanya dia juga. Kudatangi rumahnya selepas mengantar jahitan. Awalnya Salim menolak menjelaskan, tapi karena air mataku makin berderai, ia pun bercerita.
“Samsul mencintai seorang perempuan, teman kuliahnya. Hampir tiga tahun mereka menjalin hubungan. Samsul dan dia juga kerap tinggal dalam satu kamar saja. Sampai pada satu waktu, si Gadis hamil dan minta dinikahi.”

            Setetes air menyerupai angka nol kian menyembul dari mataku. Aku tak percaya  kau menukar semua kesetiaanku dengan gadis dari pulau seberang. Kau bahkan benar-benar sudah lupa, bertahun-tahun kutunggu pinanganmu dan mengabaikan pinangan orang lain demi menantimu menjadi seorang sarjana dan siap menikahiku. Bahkan, perempuan itu lebih mahal, tak seharga dengan kue lepet yang sederhana. Ia dipinang dengan seperangkat perhiasan yang menghabiskan satu ladang bapakmu terjual. Aku menangis sembari berucap kalimat istighfar ribuan kali, menahan perasaanku yang meledak-ledak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar