Kata
Maaf Terakhir
(Cerpen
ini dimuat di Majalah Walida 15 Agustus 2013)
Berkali-kali
kusakiti hatinya, hingga air matanya mengering tak mampu menitikkan bulirnya
lagi. Sejak usiaku belia hingga kini umurku 28 tahun, aku masih saja
merepotkannya dengan pekerjaanku yang tak berguna. Banyak orang begitu
mencemooh dan menyorotiku seperti kotoran, tetapi tidak dengannya. Banyak orang
terlalu mengucilkan kehidupanku hingga tak ada ruang lagi untuk mencari alasan
memohon bantuan mereka, namun tidak dengannya. Malam demi malam ia habiskan
untuk mencurahkan kalimat indahnya, memohon dengan tulus dan penuh yakin bahwa
suatu hari aku pasti berubah. Meski aku tak tahu betul seberapa besar luka dan
pengorbanannya, ketika aku kembali lagi pada dosa, ia datang bak malaikat yang
memberiku jalan pulang, ke pelukan hangat seorang ibu.
Ibuku
berusia 53 tahun, seorang penjahit yang hanya memiliki sebuah mesin jahit tua
di rumah kecil kami. Jari-jarinya yang mulai keriput, masih saja dengan sabar
menggeluti benang demi benang, membuatkan pesanan baju banyak orang. Beberapa
kali tangannya tertusuk jarum, tetap saja ibuku meneruskan pekerjaannya, dengan
kaca mata silinder seharga dua puluh lima ribu yang dibelinya di pasar. Tiap
kali aku menyuruhnya ke dokter mata, ibu hanya tersenyum dan meminta
mengantarkannya ke pasar. Sampai di sana, ibu pun mencoba beberapa kaca mata
sampai akhirnya ia menemukan kaca mata yang cukup membuat pandangannya lebih
jelas.
Ibuku
seorang diri, sudah 10 tahun ayahku meninggal dunia dan tak menikah lagi. Hanya
tinggal denganku, berdua. Pekerjaannya sebagai penjahit sudah ia lakukan sejak 30
tahun silam, sebelum menikah dengan ayahku, di Ponorogo. Selepas pindah ke
Malang, ibu pun melanjutkan profesinya itu. Ia berjuang sendiri, memenuhi semua
kebutuhan keluarga sederhana kami. Masih kuingat wajah ibu yang begitu
bersemangat mendorongku untuk sekolah ke Universitas meski aku tak begitu
menginginkannya. Kata ibu, “Pendidikan
itu penting, Nak. Sekolah saja yang benar, masalah uang, ibu bisa usahakan”,
tangannya memegang pundakku yang jauh lebih kekar dibandingkan badan ibu yang
kurus. Ibu tak peduli denganku yang begitu pemalas, baginya laki-laki harus
punya pendidikan tinggi.
Apa
yang ibu lontarkan lewat doanya belum seiring dengan perjalananku. Tahun-tahun
pertama kutinggalkan ibu ke Surabaya bertekad memenuhi harapannya untuk kuliah
di salah satu universitas negeri di sana. Namun, kebiasaan burukku tak kunjung
berhenti hingga lembar demi lembar uang yang ibu kirimkan lebih banyak kuhabiskan
ke tempat tak berguna, diskotik, penuh kesombongan kuteguk minuman keras yang
dijual mahal di sana. Bila uangku habis, sambil mendesak kuminta ibu untuk
mengirimiku uang lagi. Tetapi itulah ibu, entah darimana ia peroleh uang,
seketika itu ibu akan memberiku uangnya lagi. Namun kebiasaanku ini tak
berlangsung lama. Aku tak lagi berpesta dengan minuman. Seorang temanku divonis
umurnya tak lama lagi karena setiap hari ia meneguk minuman keras. Tak ingin
berujung sepertinya, kupaksakan untuk berhenti.
Lantas
bukan berarti aku bertaubat, tetap saja aku mengalihkan kebiasaan burukku pada
kebiasaan buruk yang lain. Aku mulai menekuni profesi baru, Ah, profesiku sebagai penjudi. Bukannya malah
berpikir serius untuk kuliah, aku yang dengan santai hanya masuk dan mengabsen muka
pada dosen, tak lagi serius mendengarkan penjelasan-penjelasannya yang seolah
hanya lewat di telingaku. Selalu saja mengantuk, dan tak jarang ku tertidur. Kuhabiskan
malam di beberapa tempat bersama teman-teman baruku, tentu saja pada profesi
yang sama. Benar kata orang, judi tak hanya menghabiskan uang sakuku, namun
hartaku yang lain. Kesenanganku pada judi membuatku tak segan menjual
barang-barang di kamar kosku. Ujung-ujungnya aku pun beralasan untuk membayar
ini dan itu pada ibu, alasan KKN, alasan ikut Semester Pendek, bahkan alasan
untuk penelitian pun kukatakan pula pada ibu.
Masih
ku ingat sorot bahagianya saat kuberi tahu bahwa kuliahku akan segera berakhir.
Sudah 6 tahun ibu memberiku segalanya selama kuliah, ia ingin aku lulus dan
wisuda. Ucapnya, ibu akan menggunakan
pakaian bagus, Nak untuk hadir di wisudamu nanti. Aku hanya tersenyum pada
ibu, menciumi tangannya setiap kali hendak pamit ke Surabaya. Ibu pun kembali
berkaca-kaca, karena dalam waktu yang lama ia akan menghabiskan hari-harinya sendiri
lagi. Di tahun terakhir sisa semesterku, ibu semakin rajin bertanya kapan dan
kapan aku diwisuda. Tentu saja aku tak tega mengatakan yang sebenarnya bahwa
kuliahku masih berantakan. Aku tak lagi punya cukup waktu untuk
menyelesaikannya, jelas sekali keputusan untukku, drop out. Di masa-masa itu aku tak berani pulang ke rumah. Hidupku
pun menumpang tidur di kos teman karena uang yang diberikan ibu tak kubayarkan
untuk sewa kos.
Kubohongi
ibu terus menerus. Kata maaf pun seolah tak lagi berguna bila kukatakan hari
ini. Ya, ibuku sudah tiada. Dua tahun yang lalu seorang kerabat menelepon dan
menyuruhku pulang sebab ibu sudah meninggal. Keadaannya sehat-sehat saja kala
itu. Ibu pergi tanpa ada keluhan sakit apapun. 1 jam sebelum kepergiannya, ibu
sempat mengobrol denganku di telepon, memberiku sebaris pesan agar aku
baik-baik saja dan segera menyelesaikan kuliahku. Mungkin ibu lupa, saat itu,
sudah tahun ke delapan. Bukan lagi tahun dimana aku pantas memberinya harapan
kosong. Namun, demi menenangkannya, hanya ku jawab iya dan iya. Tak tahu bahwa
itu adalah pembicaraan terakhir kami, sontak aku sangat terpukul, satu-satunya
orang yang begitu menyayangiku tanpa akhir, tengah terbaring di rumah kami.
Dua
tahun ini, aku tinggali rumahku seorang diri. Bekerja berbekal ijasah SMA
sebagai marketing di perusahaan swasta. Kupandangi foto ibu setiap pagi,
sebelum ku berangkat kerja. Memohon maaf padanya berkali-kali dalam hati. Ibu
pasti tahu, meski semasa hidupnya aku tak pernah menceritakan kesalahan dan kebiasaan
burukku padanya. Sesekali aku merasa tak kuat lagi hidup tanpanya, menangis
semalaman sambil membaca surat demi surat yang ku tuliskan untuk ibu, yang tak
tahu harus kukirimkan pada siapa. Di samping pusaranya, kusematkan
surat-suratku, dan menggantinya dengan surat baru ketika ku kunjungi makamnya
lagi. Ibu memang tak bisa membacanya, namun aku berharap Tuhan menyampaikan
penyesalanku yang begitu dalam pada ibu. Hidupku begitu berbeda tanpanya, Rabb. Bila saja ada kesempatan terakhir
untuk melihatnya, kan ku sampaikan kata maaf pada ibu dan mengakui semua
kebohonganku.
Bila
sisa hidupku ini adalah anugerah waktu yang diberikan Tuhan, ku gunakan
sepenuhnya beribadah, mendoakan ibu yang begitu damai tersenyum di mimpiku,
terutama saat hatiku merasa kalut. Ku tekuni pekerjaanku yang sederhana,
mensyukuri apa adanya hidupku. Seperti kata ibu.
“Maafkan
aku, Bu”
Aku
hanya mampu mendoakan, mengiringi kehidupanmu di sana dengan doaku. Berharap
Tuhan menganggapku sebagai anak sholeh yang doanya diijabah. Hingga ibu tak
lagi dikenal sebagai bunda yang salah membesarkanku. Semoga ibu pun berbahagia
dengan jiwaku yang insaf dan tak lagi mengulang kesalahan. Masih ada waktu,
bila ibu menginginkanku menjadi sarjana, saat ini tengah kujalani dari awal, menapaki
pekerjaan dan pendidikanku bersama-sama. Untukmu, Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar