Dialog
Oleh: Kiswatul Lathifah *)
Pagi yang masih setengah
gelap. Bertengger fajar di sebelah timur, dekat dengan mataku yang menatap.
Marilah. Aku takkan bosan mengajakmu beranjak dari lelap. Menemanimu berwudhu,
bersama-sama, berdua denganku. Menyeka sisa-sisa mimpi yang kau bangun jadi
cerita setiap malamnya. Kamu pasti tidur pulas. Aku yakin. Dan karena itu kita
berdua mesti bersyukur.
Subuh
begini akan kuajak kamu untuk bermunajat. Boleh kan?
Tidak
sulit kok. Akan kuajari. Tinggal kau susun saja jemarimu jadi lebih rapat satu
sama lain, menempelkannya dengan telapak tanganmu yang satunya lagi, lalu
menengadah. Berdoalah penuh yakin. Karena diantara aku dan kamu, ada Tuhan yang
mengasihi. Menjadi spasi antara cinta kita. Sangat dekat.
Sebentar,
apa kamu ingin sholat juga?
Kalau
begitu ayo, akan aku beritahu bagaimana caranya. Ini juga tidak sulit. Mengenai
hafalan sholatmu, akan berangsur-angsur kau ingat, karena aku akan
membacakannya untukmu setiap hari. Sampai aku bosan. Sampai kau juga tak lagi
jadi pendengar, melainkan melafalkan.
Jangan
bosan untuk hidup bersamaku. Aku memang tak bergelayut harta, tak juga
menjanjikanmu kemewahan. Sederhana saja. Aku mencintaimu. Seperti nafas yang
menyatu dengan hembusannya, seperti itu kau dan aku terjalin. Selamanya.
Apa
kau tak tahu bahwa aku selalu tersenyum di dekatmu? Membelaimu ringan, dengan
tanganku yang kadang bau bumbu dapur. Memegang keseluruhan dari kamu,
merindukanmu, dan tak pernah berhenti mendoakan.
Aku
bahkan selalu bertanya apa kau baik-baik saja? Bila kau diam, aku gelisah.
Boleh jadi kupikir kamu sedang tidur, boleh jadi kupikir yang lain. Namun,
harapanku teramat tinggi, hingga aku selalu beranggapan bahwa kau akan
baik-baik saja. Harapan yang membangunkan naluriku, kian meninggi.
Kalau
begitu mari kita lanjutan sholatnya. Maaf telah membuatmu menunggu lama, karena
pikiranku terlalu melayang. Melamun tentang kamu. Maaf ya.
***
Apa
kamu masih disitu? Keberatan tidak bila kuceritakan sedikit tentang hidupku?
Hmm, akan kuceritakan cinta sebelum kamu. Sebelum kamu yang tahu-tahu hadir di
hidupku. Sampai saat ini aku mencintai seorang lelaki. Ia juga teramat mencitaiku. Tapi kamu jangan marah,
karena aku sama sekali tak menduakan kalian. Aku mencintai kalian semua.
Aku
berharap, semoga kamu mirip dengannya. Laki-laki itu sempurna. Sempurna dengan
kekurangannya yang bisa kuterima. Suatu saat, jika kamu mencintai seseorang,
cintai ia dengan paket lengkap. Dengan sisi lain yang begitu ingin kau tepis,
namun tak bisa. Kekurangannya. Percayalah, itu lebih indah.
Antonim.
Seperti itulah hidup. Singkatnya begini, bila ada senang, ada sedih. Ada suka,
ada duka. Cinta, benci. Manis, pahit. Bahkan rasa punya banyak antonim. Satu
sama lain saling melengkapi. Kecut, asin, dan asam misalnya. Kalau saja kau
bisa mencicipi masakanku, ada beberapa rasa yang bisa kau artikan sendiri
bagaimana filosofinya. Bila nanti kau minum kopi, disitu ada pahit dan sedikit
rasa manis, atau sebaliknya.
Seperti
itulah hidup. Jangan kau pikir semua berjalan sesuai dengan keinginanmu. Semua
sesuai rencana Tuhan, bukan manusia. Makanya, aku mengajarimu cara berdoa.
Setidaknya Tuhan bisa bersimpati dan mengubah rencananya, sesuai doamu. Nanti
kau akan sangat bahagia bila doamu terkabulkan. Jangan takut berharap, karena
sejatinya manusia memang tak bisa berkuasa lebih dari kuasa Tuhan.
Ah,
sudahlah. Penjelasanku mungkin teramat berat bagimu. Hari sudah terik. Mari
kita berwudhu sekali lagi. Kembali bermunajat. Bersyukur, berdoa, berharap,
berangan pada haluan yang tepat, bersimpuh penuh pasrah, bersujud dan tawakkal.
Mari. Kugiring kamu ke tempat yang suci. Tempat yang hanya kita berdua disana.
Menyuarakan ribuan doa kita pada Tuhan.
Selepas
ini, mari istirahat sejenak, sembari kita membicarakan lagi perasaan
masing-masing. Perasaanku padamu. Kamu yang pertama kali. Pertama kali membuat
semangatku setinggi puncak Mahameru. Pertama kali membuatku lebih tenang, meski
kadang kamu mengagetkanku dengan gerakmu yang tiba-tiba. Pertama kali
menuliskan sejarah lain dalam hidupku. Harusnya kamu bersyukur, sebab kamu
beruntung. Menjadi yang pertama dalam banyak hal. Banyak hal dalam diriku.
Semoga
cintamu bisa terbangun setinggi cintaku. Bila aku punya lima cinta untukmu,
maka kau juga punya lima untukku. Jangan enam, tujuh, apalagi sepuluh. Aku
takut tak bisa mencintaimu lebih tinggi lagi. Jangan pula lebih kecil dari itu.
Empat, tiga apalagi nol, pasti aku akan kecewa mendengar cintaku tak berbalas.
Tolong jangan.
***
Kamu
mau cerita apa kali ini? Mumpung aku sedang sendiri, tengah santai, karena
semua pekerjaan rumahku selesai. Kukerjakan cepat-cepat, agar aku bisa duduk
lebih lama denganmu. Disini. Dan ketika kita berdua sama-sama lelah, kan kuajak
kau berbaring juga. Tenang saja. Aku takkan menelantarkanmu, apalagi menyuruhmu
terpisah dariku. Pasti aku akan mati. Setidaknya tak lagi punya hasrat hidup. Bila
tanpamu.
Baiklah,
kita dengarkan musik saja bila kamu tak mau mendengarkan cerita. Oh ya, aku
lupa mengatakan padamu bahwa aku senang dengan musik instrumental. Musik ini
teramat menyenangkan, membuatmu jadi lebih relaks di ruanganmu sekarang.
Sebentar. Akan kucari dulu lagunya. Lalu, kita dengarkan bersama. Setuju.
Judul
lagu ini “First Love”, sebenarnya
sudah tenar beberapa tahun lalu. Utada Hikaru yang melantunkannya. Ini lagu
favoritku. Sejak dulu hingga aku, aku teramat suka dengan instrumental
pianonya. Kamu pasti tak tahu. Nanti akan kuceritakan lebih banyak bila kamu
juga suka dengan musik. Lagu ini berarti cinta pertama. Sepertimu buatku. Sudah
kukatakan bahwa kamu mengawali, menjadi yang pertama kali dalam beberapa hal di
hidupku. Kamu cinta pertama, yang kedua kalinya.
Ah, bukankah cinta
pertama cuma satu ya? Tapi tidak dalam hal ini. Aku jatuh cinta segila-gilanya
dalam dua kali kesempatan. Pertama, pada laki-laki itu. Kedua, padamu. Semuanya
kuanggap sebagai cinta pertama. Akan ada pembagian yang sama rata untuk kalian.
Satu sisi hatiku untuknya, separuh sisi yang lain untukmu. Lalu seluruh hidupku
akan kuhabiskan untuk kalian berdua. Indah bukan? Makanya, kamu mesti lebih
banyak bergabung bersama kami. Hingga kita tak lagi berdua, melainkan bertiga.
Menjadi satu tali erat yang tak bisa terlepas oleh pedang tajam sekalipun.
Karena kita satu. Aku, dia dan kamu.
Bila
kelak kau suka musik, akan kudukung. Bahkan bila kamu senang berkelahi, akan
kuikutkan kamu pencak silat, atau taekwondo barangkali? Pilihlah yang lebih kau
suka. Aku seperti air, mengikutimu pelan, mengalirimu dengan kasih yang sejuk,
dan yang pasti, aku takkan jadi banjir bandang yang menghanyutkanmu. Karena tak
ada sedetik pun dari cintaku, yang akan menghancurkanmu. Percayalah.
Silahkan.
Dengarkan saja musiknya. Mungkin kamu jadi lebih tenang, bahkan mengantuk.
Tidurlah bila kau ingin tidur. Aku takkan mengganggumu.
***
“Apa
kau baik-baik saja?” tanya suamiku sambil mengelus ubun-ubunku selepas sholat
maghrib.
Aku
mengangguk. Sungguh senang melihatnya semakin menyayangiku. Lebih-lebih dengan
perutku yang buncit. Tinggal hitungan jam saja. Maka hidup kami akan bertambah
satu. Satu manusia dalam rumah.
“Perutmu
masih sakit” tanyanya lagi. Akhir-akhir ini suamiku lebih sering berdialog
kekhawatirannya padaku.
“Tadinya
sakit, tapi sekarang tidak lagi.” Jawabku sambil mengelus perutku yang kian
tegang. Aku tak takut, sama sekali tidak.
“Sebaiknya
kita periksakan ke dokter saja.” Ajaknya.
***
Maaf.
Sekali lagi maaf. Aku membangunkanmu dini hari begini. Kalau boleh, aku ingin
sholat denganmu. Sebelum kamu memaksaku untuk melahirkanmu. Tolong jangan
takut. Takkan ada apa-apa disini. Meski kita tak lagi di rumah. Ini hanya rumah
sakit kok. Ibu ditemani banyak ahli yang membantumu, menemanimu menangis nanti.
Menangis pertama kalinya, disampingku.
Kamu
pasti bosan. Teramat bosan. Bukan kesengajaanku mengurungmu dalam ruang sempit,
tempat dimana kamu tak bisa meluruskan kaki, tak bisa mengangkat kedua tanganmu
ke atas, melebihi ubun-ubunmu, untuk menggeliat puas. Dan kamu, hanya bisa
melengkung, merapatkan tanganmu yang mungil, merapatkan kakimu yang panjang,
serapat-rapatnya. Seperti itulah kamu saat ini. Yang hanya bisa berputar
seiring bulan demi bulan.
Kalau
begitu, mari kita sholat dulu. Sebelum fajar lahir di belahan langit timur.
Sebelum kamu pun membuka mata lebar-lebar dan memelukku. Mari kita sholat. Maaf
karena membuatmu terjaga sebelum fajar.
Tuhan bilang, ini waktu istijabah. Waktu tepat
dan semua doa terkabulkan. Biarkan aku berdoa untukmu saja. Doa yang paling
darurat. Doa keselamatan. Keselamatanmu, Nak.
Kamu
ingin berdoa apa? Sudahkah kau buat perjanjian dengan Tuhan mengenai
keselamatanmu. Kamu harus merendah diri di hadapannya. Berdoalah penuh khusyu’.
Sebab, ia Tuhanmu. Berdoalah untuk kebaikanmu. Kebaikanmu di dunia. Juga di
alam-alam berikutnya. Berdoalah semampumu, Nak. Sebab, sebentar lagi, kamu
menapaki ruang yang lebih luas dari saat ini, milyaran kali lebih luas dari
rahim ibu.
***
Perutku
sakit, mules, mengerucut urat-uratnya. Tak bisa kubedakan mana gaya dorong
rahim dan tinja. Semuanya beradu satu, menyatu, sejadi-jadinya. Menyakiti kaki
hingga bagian tertinggi dari tubuhku. Menyita peluh yang beberapa hari ini
hanya terperas sebagian, kini terkuras. Aku tahu, ini saatnya. Waktu dimana
sejarahku berubah. Dimana harapanku beralih menjadi kisah nyata tentangnya, tentang
ini, anakku. Kamu.
Semua
serba menuju pada satu titik. Tempat dimana seharusnya menjadi jalan keluarmu.
Tak bisa kuhitung ribuan mantra magis yang keluar dari mulutku. Istighfar,
sholawat dan segala macam, kusebutkan, semuanya. Terisak-isak sambil bergeming.
Terus-menerus. Menggerutu hingga ke dalam hati.
Aku
ingin kau membantuku berdoa. Untuk terakhir kalinya. Berdoalah agar kamu bisa
tersenyum bersamaku lebih lama. Akan teramat senang bila kamu juga begitu
bersemangat, berlari ke dalam pelukanku. Secepatnya. Meski mimpi kita itu,
dibayar dengan kesakitanku yang amat menyiksa.
Tak
lagi bisa kupisahkan kebahagiaan dan pesakitan. Semua jadi satu. Bukan
bergantian, tetapi beriringan. Menjadi satu harmoni yang indah. Cinta memang mengalami,
benar-benar menjalani. Seperti inilah seharusnya. Aku denganmu pada satu tujuan
yang sama, bedanya, kau keluar, dan aku yang mesti berupaya mengeluarkanmu.
Takkan bosan untuk
berkeringat, takkan berhenti. Sebab, bila aku menyerah, kau pasti sedih. Karena
satu-satunya orang yang mampu membebaskanmu, hanya aku. Tak ada orang lain.
Perjuangan melelahkan, sampai akhirnya tiba pada titik, melegakan.
***
Sembilan
bulan sepuluh hari. Bisa jadi sama dengan dua ratus delapan puluh hari. Selama
itu aku berdialog bisu denganmu, yang hanya bisa mendengarku dari ruang pengap
itu. Coba kau bayangkan, selama itu aku mencintaimu, menunggumu datang,
merindukanmu teramat dalam, mendambakanmu, tergila-gila pada gerakanmu yang
sebatas menendang. Gila segila-gilanya. Padamu. Buah hati. Generasiku dan
lelaki yang selalu kuceritakan padamu. Betapa aku sangat mencintai kalian.
Dua
ratus delapan puluh hari bukan waktu yang singkat untuk menunggumu. Bagiku, itu
lebih pantas bila dinyatakan dalam satuan detik. Coba hitung. Kalikan dua puluh
empat, kalikan enam puluh, kalikan lagi enam puluh. Selama 24.192.000 sekon aku
menunggumu. Selalu mendoakanmu, menyayangimu. Tanpa henti. Kau mesti percaya
dan meyakini itu. Silahkan kau tanya pada semua orang di dunia, pasti mereka
membenarkan perasaanku terhadapmu.
Bila
kamu ingin nilai yang lebih fantastis lagi dari itu, bisa kau ganti jadi
milisekon, atau skala nano. pasti pada hitungan selanjutnya, otakmu pun takkan
mampu membilangkan angkanya lagi. Sebab sejatinya, cintaku tak terhingga.
Aku
teramat beruntung, mencitaimu selama itu. Sebanyak angka yang kau peroleh dari
perhitunganmu. Bila saja bisa kujual cinta itu, dengan menambahkan satuan
rupiah di bagian akhirnya, pasti aku akan jadi perempuan terkaya, hanya dengan
modal cinta. Mencintaimu.
Itu
pun belum cukup. Sebab aku akan selalu mencintaimu. Sampai kini…
Untuk
pertama kalinya kau buka mata. Sejak satu jam yang lalu. Maka angka tadi akan
bertambah 3600 detik lagi. Kalkulasikan saja terus. Lagi dan lagi. Sepertinya
pada satu waktu kamu akan menemukan kejenuhan karena tak kuasa lagi menghitung
masa yang kuhabiskan untuk memikirkanmu. Fantastis bukan? Itulah cintaku. Kau
beruntung, dicintai tanpa pamrih, tanpa iming-iming cinta yang teramat tinggi
dengan bualan tanpa arti.
Itulah
mengapa tadi hanya kusebutkan hingga angka lima saja. Bila aku punya lima
cinta, maka berikan saja jumlah yang sama untukku. Tak mesti mutlak 5 koma nol,
atau 5,00. Kau bisa memberikan angka cinta yang mendekati itu. 4,99 atau 4,90
atau 4,7, bahkan bila kau tak mampu, 4,51 saja sudah bisa kubulatkan menjadi
lima. Tak boleh lebih tinggi dari itu, atau sebaliknya. Sebab mencintai sama
dengan revolusi bumi, dengan peredaran segenap planet pada garis edarnya, pada
orbit elipsnya, seimbang. Cinta butuh keseimbangan.
Sudah
cukup. Ibu tak lagi mau bicara banyak. Melelahkan memang. Namun, sepotong tubuh
mungil kini tengah berbaring dan menggeliat lembut di sampingku. Itu kamu. Jiwa
yang selama ini kuajak bermunajat, kuajak berdoa, kugiring penuh ikhlas untuk
sama-sama bersesuci menghadap Tuhan. Itulah aku, ibumu. Lantas, perjalanan kita
akan lebih panjang. Akan ada banyak dialog yang mesti kau lakukan bersamaku.
Lebih lama lagi.
Telah
kupersiapkan banyak hal untuk tinggal denganmu. Kita bertiga. Aku, kamu, juga
ayahmu. Setidaknya kamu telah belajar banyak di ruang yang milyaran kali lebih
sempit dari rahim ibu. Lalu, untuk pertama kalinya, kami berdua -aku dan
ayahmu- mengucapkan selamat datang. Padamu. Anakku.
Terima
kasih karena menemaniku selama 280 hari tanpa henti. Mengandungmu, itu
menakjubkan.
*)
Anggota Komunitas Penulis Muda Situbondo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar