Jalan

Jalan
Oleh Kiswatul Lathifah *)

Kakiku berpijak pada sebuah jalan yang melelahkan. Tak ada keramaian orang, tak ada huru hara jalanan yang biasanya kulewati setiap hari. Menurutku ini bukan kota. Aku bahkan tak tahu jalanan ini sebelumnya. Untung saja aku melalui perjalanan yang melelahkan bersama ibu.
Aku dan ibu menyusuri jalan tak beraspal yang teramat jauh malam itu. Gelap, penat, hitam lekat seperti lintasan terowongan tanpa pelita. Malam yang membuat kakiku lelah bergerak. Sedang ibu masih saja menyuruhku untuk terus melangkah, digandengnya tanganku erat-erat, seperti kecil yang kelelahan, menyusuri jalanan sepi tanpa hingar bingar manusia.
            “Kita mau kemana, Bu? Rasanya kakiku teramat penat, aku bahkan begitu dahaga” Ibu mengusap ubun-ubunku yang berkeringat. Malam itu ibu mengenakan pakaian serba putih. Jilbab putih yang melingkari wajahnya nampak membuat ibu semakin bercahaya.
            “Kita perlu sampai di ujung, di situ ada dua jalan, dijaga oleh malaikat Jibril.”
Sebenarnya ini jalan apa, sepi dan dijaga oleh Malaikat. Sebenarnya sudah sejak tadi ku lihat beberapa sosok bercahaya bak neon yang menerangi jalan. namun, sangat jarang. Hingga jalan yang kami tempuh pun kerap kembali gelap setelah makhluk seperti bersinar temaram bagai kunang-kunang itu terlewati begitu saja.
Tak lama ibu menjawab pertanyaanku, kami pun sampai di ujung terowongan gelap itu. Sebuah jalan yang memang mirip terowongan. Sudah beberapa ratus meter aku tak lagi melihat sosok bercahaya. Lalu sampailah aku dan ibu pada ujung jalanan yang kami tepi lalui. Malaikat Jibril benar-benar berdiri di sana, di antara dua pintu. Ia bercahaya, berpakaian putih, bersih, berkilauan bagai mentari di terik hari.
Mungkin sedari tadi yang ku lihat sebelum sampai di penghujung jalan adalah sosok malaikat. Tetapi, kali ini Malaikat Jibril menjuarai cahaya-cahaya itu. Begitu terik, namun meneduhkan. Mirip cahaya pagi yang berkilauan dan selalu dinanti. Begitulah ia, malaikat yang disebut dalam al Quran sebagai Ruhul Qudus “Roh Suci”, yang termamat indah dengan secercah sinar di sekujur sosoknya.
            “Assalamu’alaikum, Selamat datang di negeri penentuan.” Begitulah pertama kali Jibril ibu dan aku.
“Tepat di belakang punggung saya, ada dua pintu yang di dalamnya adalah jalan menuju tujuan akhir perjalanan ibu dan anak perempuannya.” Lanjut Jibril.
            “Silahkan pilih satu jalan. Pilih saja sesuai dengan kata hati.” Kata Jibril sambil menunjuk pada dua pintu di belakangnya itu.
            “Ah, Malaikat ini. Seperti memilih partai saja. Sesuai hati nurani.” Jawabku padanya.
            “Tentu saja begitu. Ini menyangkut hidup masing-masing, jadi pilihlah jalan yang kamu suka, bukan yang orang lain suka. Sekalipun ibumu yang menyuruh, kalau kamu tidak suka, ya jangan dipilih.”
            Sang malaikat bercahaya bak peri itu pun menjelaskan bahwa dua jalan itu memiliki rintangan yang berbeda-beda. Satu jalan rintangan ini, satu jalan lagi rintangan yang lain. Aku dan ibu harus memilih salah satu. Boleh saja berbeda, kalau memang keputusan kami tak ingin melalui pintu yang sama.
            Kedua jalan itu menghubungkan pada tujuan akhir yang sama. Si malaikat Jibril member kami selebaran seperti deskripsi singkat dari dua jalan itu. Lantas tujuan akhirnya, dibuat bagai teka teki atau peta harta karun, dengan simbol tanda tanya “?” yang berukuran cukup besar, dilukis dengan tinta warna keemasan.
            “Itu perintah Gusti Allah, Mbak. Saya tidak diperbolehkan untuk memberitahu siapa saja yang menempuh dua jalan ini.” Begitu alasan Jibril ketika ku tanya mengapa tujuan akhir perjalanan kami justru tak dijelaskan. Pada selebaran itu hanya bercerita mengenai bagaimana rintangan yang akan kami lalui.
            Aku sendiri pun heran, dimana-mana layanan perjalanan biasanya menuliskan bagian akhir dari tempat kunjungannya dengan kalimat menarik dan mempengaruhi para pengunjungnya untuk kembali datang. Berbeda dengan biro perjalanan malaikat Jibril, tujuan akhir menjadi sebuah tanda tanya besar yang katanya akan setimpal dengan rintangannya. Malaikat itu pun juga tidak banyak berpromosi, hanya menyuruh memilih, selebihnya ia akan membukakan pintu perjalanan itu.
            “Kalau gitu kita pilih jalan yang enak saja, Bu. Jalan sebelah kiri.” Ku tunjuk jalan yang pada selebaran itu. Dilukiskan bahwa jalan itu nampai mewah, bergelimang dengan semua fasilitas duniawi. Sempurna.  
            “Menurutku sih itu bukan rintangan, Bu. Lihat saja, di sepanjang jalan kita akan temukan makanan dan minuman yang berlimpah, para lelaki dan perempuan menari-nari di pinggir jalan. Berpakaian sesuka hati. Semua bangunannya disediakan untuk pengunjung. Bahkan ada diskotik dan barnya juga. Ya, walaupun ibu tak mau mengunjunginya. Kita melewati negeri yang bebas lepas, tanpa batas. Wah, sudah seperti operator telepon aja ya, Bu. Tanpa batas!”
            Ibu berpikir sebaliknya. Penuh perhitungan
            “Kita pilih perjalanan yang sebelah kanan saja, Nak.” Jawab ibuku sambil menunjuk gambar sebelah kanan. Dua gambar yang dua-duanya pula dipoles tanda tanya. Yang membedakan hanya keterangan di bawah gambar itu, satunya begini, satunya begini. Macam busur derajat saja, seratus persen rutenya berbeda. Jauh berbeda. Seratus persen rintangannya berbeda. Jauh berbeda.
            Jalan satunya lagi, dipenuhi oleh jalanan terjal dan melewati kampung-kampung miskin. Banyak para peminta-minta. Kami harus melewati negeri yang banyak aturan. Di sekelilingnya berdiri masjid-masjid kokoh, harus disinggahi dan diikuti apa saja ibadah yang jadi kewajiban pengunjungnya. Negeri itu pun jarang ditemui makanan. Bahkan, kami mesti berbagi makanan dengan orang-orang yang membutuhkan. Negeri yang mesti ditempuh dengan kesabaran.       Begitulah, penjelasannya. Ah. Jalan ini begitu susah. Sholat sih ndak apa-apa. Tetapi kalau kita mesti kelaparan? Aduh.. bagaimana aku dan ibu bisa bertahan sampai ke final. Anggap saja ini lomba lari. Mesti bersaing dan tak boleh empati pada lawan.
            “Apa tujuan akhirnya sama?” Tanyaku lagi. Malaikat Jibril menggeleng tanda jawaban tidak.
            “Rintangannya berbeda, tujuan akhrinya pun jelas berbeda. Insya Allah.” Jelasnya lagi.
            “Bagaimana? Kalian boleh terpisah. Semua keputusan di tangan Ibu dan Anda, Mbak Silmi.” Jibril mengambil kembali selebarannya.
            “Kalian bisa saja kembali, jika tak mampu meneruskan perjalanan nanti. Tapi ingat, kesempatannya hanya sekali untuk pindah dan masuk ke pintu perjalanan yang lain.” Lalu Jibril mempersilahkan kami masuk ke pintu itu. Aku memutuskan untuk menemani ibu. Kasian kalau saja ibu menempuh perjalanannya sendiri. Lagi-lagi mesti ditempuh dengan berjalan kaki.
             Tak berbeda dengan penjelasannya. Melimpah ruah para fakir miskin. Orang-orangnya berpakaian muslim, wanitanya menutup auratnya rapat-rapat. Menyantuni orang-orang miskin di sepanjang jalan yang mereka lalui. Masjid-masjid terisi segelintir orang yang memenuhi kewajiban ibadah mereka di sana. Ada pula rumah singgah, namun, aturannya juga ketat dan mengikat.
Aku bertemu seorang penceramah yang biasa mengisi pengajian tafsir di Kelurahan tempatku tinggal. Ustadz Mursyidi namanya. Wajahnya kali ini begitu bercahaya, tak jauh beda dengan cahaya malaikat Jibril yang tadi ku temui.
            “Ibu, Ibu, bukankah itu ustadz Mursyidi. Penceramah yang biasa mengajar pelajaran tafsir di pengajian kelurahan kita.” Ibu tersenyum dan mengiyakan.
            “Tahukah kamu, Nak, mengapa ibu memilih jalan ini?”aku menggeleng tanda tak mengerti.
            “Tujuan akhir dari perjalanan ini adalah surga. Masih ingat kata ustadz Mursyidi di pengajian minggu kemarin? Saat beliau menjelaskan hadits Rasul mengenai surga dan neraka dan jalan-jalan yang mesti ditempuh untuk mencapainya?”
            Aku kembali mengingat-ingat. Minggu lalu ustadz Mursyidi memang menyampaikan sebuah hadits. Kalau tidak salah, begini penyampaiannya:
Setelah Allah menciptakan surga, lalu malaikat Jibril dipanggil untuk melihatnya. Lantas malaikat berkata, “Demi Allah, tidak akan ada dari hambaMu, setelah melihat tempat ini, mereka tidak ingin memasukinya.” Lalu ketika Jibril melihat bagaimana perjalanan menuju surga, perjalanan yang sama sekali tidak melibatkan hawa nafsu, Jibril kembali berkata “Ya Allah, hamba khawatir tidak akan ada satu pun hambamu yang bisa melewati rintangan itu.”
            Jibril kembali berkata selepas dirinya melihat neraka, bahwa tidak ada seorang pun yang mau memasukinya. Namun, ia kembali melihat perjalanan menuju neraka yang teramat menyenangkan. Dipenuhi oleh hawa nafsu yang tak terbendung. Lantas ia pun berkata akan kekhawatirannya bahwa akan banyak sekali umat yang justru memilih perjalanan itu.
            Begitu sesak fakir miskin dan orang-orang bertampang menyedihkan di perjalanan kami. Tak ada seorang pun dari penduduk asli negeri yang kami lewati itu, yang kaya raya. Sepertinya negeri itu sedang tertimpa paceklik panjang.           Ah, keadaan ini sengaja Tuhan rancang untuk membuat pengunjung negeri itu bersedekah. Allah juga tak pernah berhenti, tersurat dengan amat jelas tentang bersedekah.
“Ingatlah, Nak. Jalan menuju surga, tak sedikitpun melibatkan hawa nafsu. Hanya oran-orang yang pandai mengendalikan hawa nafsunya saja yang bisa melaluinya. Lihat saja beberapa caranya: sholat, berpuasa, membaca al Quran, bersedekah, menutup auratnya, menjaga lidahnya, senantiasa berpikiran positif pada keluarga dan orang di sekitarnya, semuanya tak melibatkan nafsu yang tak baik, Bukan?” Seketika itu, langsung ku peluk ibu, ibuku yang teramat cantik hatinya. Ibu yang sudah tak kuragukan lagi perangainya.
***
            Pukul 3 dini hari. Aku terbangun. Ibu yang tadinya tidur bersamaku, kini tak ada di sampingku. Rupanya ayah dan ibuku sedang sholat malam di musholla rumah kami. Ah, ayah dan ibu begitu kompak, kataku. Aku menyayangi mereka. Aku mencintai mereka.
            “Kemarilah, Nak. Ikut sholat bersama kami.” Ayah memanggilku yang tengah tercengang di pintu musholla. Entah sudah berapa lama aku menikmati pemandangan yang harmonis itu. Aku mengangguk dan bergegas mengambil wudhu.    
            Lantas aku pun ikut bermunajat bersama ayah dan ibu, berdoa, memohon setulus jiwa untuk selalu meniti jalan yang benar, jalan yang tepat. Ku buka kitabku tengah malam itu, lalu ku baca beberapa ayat sucinya. Ada dua ayat dari surah Ali Imran yang mengingatkanku kembali pada bunga tidurku tadi, begini maknanya:
           
            “Dan bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa. (Yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan,” (Surah Ali Imran ayat 133-134).
            Mimpi itu sedikitnya menyadarkanku, semoga saja aku, ayah dan ibu kelak memilih jalan yang benar. Manusia tak boleh hanya berdoa, tetapi juga harus mengusahakan dirinya meniti jalan kebaikan. Begitu kurang lebih ayahku mengkaji mimpi yang ku ceritakan padanya. Satu hal yang belum ku mngerti, dalam mimppi, justru pertemuanku dengan ayah, tak membuat aku dan ibu mengenalnya, malahan memanggilnya sebagai Ustadz Mursyidi.

Situbondo, September 2013
Ku dedikasikan untuk Ustadz Mursyidi
Seorang guru tanpa pamrih yang mengajar tafsir al Quran.



*) Anggota Komunitas Penulis Muda Situbondo

Tidak ada komentar:

Posting Komentar