Laki-laki Kurus


Cerpen ini dimuat di Majalah Chic edisi 166 terbit awal Mei 2014


Sepotong kenangan itu muncul entah dari arah mana. Kukenal Ia cukup lama. Ia temanku, meski bukan sejak kecil. Pernah dalam satu ruang kelas yang sama. Tapi tak pernah kulirik Ia sebagai cinta. Lalu, waktu mengajak kami kembali membuka memoar lama. Aku dengannya, sedang dalam hati yang kosong saat kami memutuskan untuk bertemu. Pada satu malam yang dingin, sepi akan awan terang.
            Ia laki-laki kurus, persis seperti kisah tentangnya yang pernah kutulis dalam beberapa cerita. Aku tak pernah kehabisan ide menuliskannya dari banyak sisi. Aku menyukainya, meski kusangkal penuh sadar, meski Ia jauh dari yang kuharapkan. Mungkin kebanyakan orang menyebut cintaku irrasional.
            Laki-laki kurus tak menginginkan dirinya sekurus itu. Lama tak menemuinya, kupikir Ia lebih kurus dari sejak terakhir kutemui, tiga tahun lalu. Ah, tiga tahun ternyata bukan waktu yang mampu membuatnya menambah berat badan. Matanya cokelat. Tapi bukan lensa mata yang dipakainya. Mata itu seperti mata keruh dengan sedikit warna lebam di sekelilingnya, seperti tak pernah tidur. Atau, barangkali Ia lupa bagaimana tidur yang lelap. Entahlah. Laki-laki kurus itu seperti sepotong manusia dekil yang tengah duduk diam. Asap rokok mengepul dari bibirnya yang mendekati hitam. Lalu, aku hanya diam melihatnya tanpa batas, imajinasiku menari memikirkannya begitu dalam. Kumiliki kesimpulan, meski hatiku menolak. Aku menyukainya.
            “Apa kabar?” Sepotong kalimat yang baru terlontar dari Ia, menyapaku, setelah hampir satu jam duduk diam di sampingnya.
            “Baik. Kau?”
            “Beginilah aku,” jawabnya dingin. Laki-laki kurus itu memang tak pernah merubah gaya bicara, masih sama. Singkat, dingin, seperti angkuh.
            “Kau… sibuk apa?”
            “Tak ada. Begini-begini saja. Kau?”
            “Studiku baru saja selesai. Aku sedang mencari pekerjaan.”
            Ia diam. Dan, kami sama-sama beku setelahnya. Aku putuskan untuk pulang. Itu pertemuan pertama kami setelah sekian lama. Laki-laki kurus itu bersikap dingin padaku.Namun, kulihat matanya hangat, meski masih tertutup bara. Mungkin Ia membenciku. Membenci perempuan yang lama tak menjawab cintanya. Dulu, Ia selalu mengejarku dan mengikuti sampai lelah. Saat itu kuputuskan untuk pergi sampai tak ada lagi kabar. Ia tak lagi mendekat. Aku mulai tahu bahwa merindukan lebih sakit daripada mengusirnya perlahan.
            Pertemuan kami sampai pada yang kedua, ketiga, kemudian empat dan seterusnya. Kami kembali dekat. Sampai akhirnya aku seperti sepasang telinga baginya. Segala cerita Ia, kisahnya, tentang apapun yang diucapkannya pasrah. Aku pendengar yang baik di sisi laki-laki kurus itu. Laki-laki yang membuatku tak pernah melihat bagaimana ia bicara, bagaimana kisahnya mengalir dan terekam tanpa terpaksa.  
            “Kau tak takut?”
            “Tentang?”
            “Kenapa kau pakai sabu itu?”
            “Jika aku harus mendekam di tahanan, itu takdir.”
            “Tapi kau yang membuat takdir itu terjadi, bukan Tuhan.”
            “Kecuali bila kau di dekatku. Aku janji.”
            “Tak semudah itu kupercaya. Kau mungkin sudah berulang kali katakan pada perempuan lain sebelum aku.”
            “Tak pernah. Aku tak pernah menjanjikan apapun pada perempuan.”
            “Aku tak percaya.”
            “Terserah kau. Aku tak pernah menggantimu dengan tatapan perempuan lain. Kau, dulu dan sampai saat ini. Kupegang kata-kataku.”
            “Aku tak bisa.”
            “Dan aku tak pernah memaksamu untuk dekat denganku. Pergilah bila kau ingin menjauh seperti dulu,” jawab laki-laki kurus itu dengan mata cokelat yang hangat.
            “Berhentilah konsumsi itu. Aku tak suka.”
            “Kecuali bila kau di dekatku,” jawabnya lagi.
            “Baiklah. Aku setuju.”
            Laki-laki kurus itu tersenyum. Sepasang mata dibalut warna lebam di sekelilingnya, seperti tak pernah tidur lelap, menatapku seketika. Saat itu aku tahu, mata itu yang tak pernah mau hilang dari ingatanku. Sepasang mata yang kulupakan siapa pemiliknya, tapi kuingat jelas bagaimana caranya menatap. Mata itu, milik laki-laki kurus. Aku menyukainya.  
            Kami menjadi sepasang kekasih setelah sekian tahun menanti. Aku masih seorang anak kecil yang tak mampu terima kenyataan menyukai teman yang tak pandai. Alasannya sederhana, karena aku murid pandai di sekolah. Aku masih seorang anak kecil yang tak suka padanya, karena Ia tak bisa bermain satu pun alat musik. Alasannya sederhana, aku suka musik, aku senang menyanyi. Sebut saja gengsi. Ya, benar. Aku masih seorang anak kecil yang menghindarinya karena tak mau punya pacar seperti laki-laki kurus itu, lama sekali, sekian tahun lalu.
            Waktu membuat segalanya berubah. Termasuk pandangan seorang gadis kecil. Kini, aku begitu membuka hati pada laki-laki kurus itu. Aku menikmati perjalanan kami. Mencintai, memberi, berbagi, saling tersenyum dan menghibur, saling menukar masalah dan solusi. Seperti perjalanan hidup umumnya. Tapi aku menginginkannya mencintaiku sampai nanti. Tak sekali pun meninggalkan luka karena pisah. Sejak saat itu, aku mulai bermimpi.
            Tentu saja kugantungkan segalanya pada laki-laki kurus itu bila hanya kami berdua yang menjalani hidup. Namun, beberapa kepala justru tak setuju dengan mimpi yang baru saja ingin kumulai. Beberapa dari mereka.
            “Kau buta?” tentu saja aku menggeleng.
            “Atau kau tak pernah pakai matamu dulu sebelum mencintainya?” aku menggeleng lagi.
            “Lalu kenapa kau memilihnya? Kau pikir siapa dirimu, begitu saja menukar segalanya dengan lelaki tak jelas itu?” Ibu menudingku tajam. Telunjuk tangan kanannya tepat menempel di kepalaku yang teramat pusing. Aku ingin menangis, namun masih kutahan kuat. Tak ingin kusampaikan pada siapa pun bahwa aku tak suka diadili siang itu.
            “Itukah teman yang kauceritakan? Teman yang menyukaimu sejak dulu?” Ibu kembali bicara.
            “Kau tahu Ia tak punya pekerjaan? Tak jelas asal-usulnya.”
            Ia jelas mencintaiku, Bu.
            “Kau pikir kau akan bahagia dengannya?”
            Aku yakin. Laki-laki kurus itu bisa membahagiakanku dengan caranya, Bu.
            “Aku lelah memperingatkanmu untuk tak lagi mendekatinya.”
            Aku juga lelah mengatakan pada Ibu bahwa aku mencintainya.
            “Ibu tak ingin rencana pernikahanmu batal. Jangan kau permalukan keluarga kita, Nak!”
            Kumohon, batalkan saja, Bu! Aku tak ingin menikah kecuali dengannya.
            Ibuku menangis, sementara sejak tadi Ayah diam dengan kesal. Seperti hendak memukulku. Sejak tadi pula Ayah geram dengan tangannya yang masih mengepal.
            “Tolong tinggalkan laki-laki itu!” Kemarahan Ibu memudar. Tapi, ini saat yang paling tak kusuka. Wajah Ibu berubah jadi memohon.
            “Tolong jangan kauhancurkan semuanya, Nak.” Mata Ibu mulai berlinang.
            Ibu, kumohon, jangan halangi aku untuk mencintainya.
            “Ia laki-laki yang tak pantas buatmu. Ia hidup dengan cara yang salah. Ibu tahu ia pecandu, penjudi, peminum.”
            Ibu cukup. Jangan hina laki-laki kurus itu. Aku mencintainya.
            “Ia tak sebanding dengan perempuan pintar sepertimu. Kau akan menyesal memilihnya.
            Harusnya Ibu mendoakannya agar tak pernah kembali pada masa lalunya. Ibu percayalah, ia sudah berubah. Ia tak lagi begitu.
            “Tolong pikirkan segalanya, Nak!” Ibuku menangis. Keadaan itu seperti titik di akhir kalimat. Aku makin tak bisa membantah. Aku diam. Kupikirkan Ayah, Ibu, juga laki-laki kurus itu bersamaan.
***
            Pantai seperti tak pernah berubah. Deru ombak tenang jelang petang, juga matahari jingga yang hendak kabur dari awan. Beberapa ekor burung berpelukan dengan angin, menutupi lelah siang yang terik. Semuanya hendak pergi menghindari malam yang siap datang. Aku masih duduk dengan secangkir kopi hangat di bilik bambu yang sengaja dibuat beberapa penjual pinggir pantai. Sebuah kamera berkalung di leherku, kumainkan fokusnya. Kutangkap gambar langit, lalu burung-burung itu, kemudian biru laut dan pasirnya. Kugeserkan kembali ke udara. Kali ini kubiarkan mataku menjelajah lewat kamera, kubiarkan mataku melirik sekeliling.
            Seorang perempuan berjarak sepuluh meter dari sisi kiriku. Ia sedang sendiri. Cara duduknya tenang, seperti angin yang mengalir lengang. Kuamati Ia. Perempuan dengan siluet wajah yang kukenal. Sayang Ia tak duduk di bilik bambu berlampu, bayangannya ikut tersapu matahari yang mulai pulang pada waktu. Makin gelap. Namun, lampu sekitar tak memudarkan siluet wajah itu. Aku mengenalnya. Perempuan bertubuh tinggi dan kaki jenjang yang pernah kukenal. Perempuanku. Alina.
***
            Aku tahu Ia tengah sibuk memotret. Laki-laki kurus yang masih saja dengan postur sama. Tepat bergerak bebas sepuluh meter dari sisi kananku. Ia seperti menjelajahi dunianya sendiri. Bergurau dengan langit, burung-burung yang menari, juga laut biru dan pasir yang menderu tanpa kesal. Aku ingin melihatnya lebih lama. Tanpa Ia menyadari aku duduk di sini, pada pihak yang menontonnya. Ia yang kusebut irrasional. Laki-laki kurus yang kucintai. Laki-laki yang masih saja dengan kebebasannya. Kali ini Ia hanya menghabiskan sebatang rokok dalam satu jam. Dari kejauhan, kuamati tak ada lagi warna lebam di sekeliling matanya. Ia seperti telah berbinar. Mungkin laki-laki kurus itu berubah. Aku tak tahu. Senyumnya mengembang tiap kali melihat hasil gambarnya di kamera. Aku ikut tersenyum. Laki-laki kurus, apa kabar?
***
            Sepasang mata mereka bertemu tepat saat matahari mulai tidur pada waktu. Seolah bercumbu dengan rindu yang pekat. Begitu tebal tertimbun di hati masing-masing. Alina dan laki-laki kurus mengerucutkan jarak yang tadinya jauh. Senyum keduanya mengembang. Alina ingin sekali memeluk. Laki-laki kurus itu pun ingin sekali memeluk. Dua pasang mata bertemu saling sejajar. Bertatap, lalu membahasakan rindu masing-masing.
            “Apa kabar, Alina?”
            Sebulir air menyerupai angka nol menyumbul dari kedua sisi mata Alina. Entah berapa lama waktu mengemas kerinduannya pada laki-laki itu.
            Alina terisak, meski masih bisa berkata, “baik. Kamu?”
            Laki-laki itu kembali diam. Ia menerka isi hati Alina, membaca sepasang matanya yang basah. Angin meniup lirih kedua tubuh mereka yang saling berpeluk. Laki-laki kurus memeluk tubuh kecil Alina erat. Sangat dekat.
            “Kau sudah menikah?” Bisik laki-laki kurus di telinga kiri Alina.
            Alina menggeleng. Napasnya sesak. Ia membalas pelukan laki-laki kurus itu.
            “Aku juga tak menikah. Mungkin karena aku sibuk memotret.”
            “Sejak kapan kau suka memotret?”
            “Sejak kau tak lagi di dekatku. Kupikir kau pergi karena pernikahanmu.”
            Alina kembali menggeleng, “tidak. Kuputuskan untuk tak menikah dan pergi studi ke luar kota. Kupikir kau sudah membenciku.”
            Kali ini laki-laki kuruslah yang menggeleng, “aku tak pernah membencimu. Aku menunggu.”
            “Terima kasih.” Alina mengusap punggung laki-laki kurus itu. Ia lega. Mereka berdua sama leganya.
            “Menikahlah denganku. Kali ini aku siap menemui ibu dan ayahmu. Percayalah, sudah kutinggalkan masa laluku sejak dua tahun lalu, tepat saat kau hilang tanpa kabar.”
            Alina mengangguk. Napasnya kian lega. Mereka habiskan beberapa waktu untuk tak saling bicara dan tetap memeluk erat satu sama lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar