Laki-laki itu bermata tembaga, bersinar,
seperti mercu suar yang menyinari lautan. Lautanku yang telah lama gersang dan
gelap. Badannya teramat kekar, dadanya yang pejal membuatku semakin enggan
pergi dari sandarannya. Ia seperti malaikat yang mendatangiku dan menghadiahkan
simpul senyum menenteramkan. Bagian paling kusukai di wajahnya, ia memiliki
lesung pipi membentuk jurang dalam yang melukai kulit cokelatnya. Hidungnya tak
bangir, namun sesuai dengan lengkung bibirnya yang melukis senyum. Senyum yang
menghancurkan pertahanan cintaku.
Kucari
telapak tangannya yang bersembunyi di bawah bantal. Ini dia. Rasa pahit pada
tangan Herman. Rasa tak nyaman yang begitu kusukai, begitu rajin kuteguk saban
hari. Kutemukan tangan, kugenggam tangannya yang cokelat. Tangan yang hangat,
sehangat pagi ini. Pagiku bersamanya.
“Lalu
kapan kau akan mendatangiku lagi? Tidakkah kau ingin tinggal lebih lama
denganku?” tanyaku sambil menatap Herman yang menenggelamkan wajahnya dalam
bantal, berposisi miring, menoleh padaku.
“Secepatnya.
Aku akan kembali lagi.”
Secangkir
kopi pahit selalu kuterima dari Herman acap kali ia akan meninggalkanku. Lebih
dari itu, ia memberikan empedu berkali-kali pada hatiku. Meski dengan mimik tersenyum
sekalipun.
Baiklah,
aku selalu melepas kepulangannya dengan rela, dengan hati legawa. Memang ini skenario yang mesti kami jalani. Entah sudah
berapa kali kopi pahit yang Herman berikan, yang pasti, aku meneguknya berteman
keihklasan. Tanpa keterpaksaan.
Pagi
itu, Herman mengecup keningku perlahan, seperti pada perpisahan kami
sebelumnya. Tak pernah lupa menggenggam tanganku erat, sambil berkata
“Baik-baik ya disini”. Tuhan. Sungguh aku teramat menyayanginya. Diukur dengan
kedewasaan sematang apapun, takkan rela kulepas Herman.
Lagi-lagi
ia menyuguhkan kopi pahit untuk dengan senang hati kuminum. Begitulah. Herman
lupa menambahkan gulanya. Ia hanya tahu bahwa getir kopinya mesti diminum pula,
sayangnya, diteguk olehku.
Aku
mengangguk, meneteskan bulatan air mata menyerupai angka nol yang jatuh
menggelitik pipiku, melepas Herman, untuk kesekian kalinya meninggalkanku lagi.
Bukannya aku tak ingin hidup berlama-lama dengannya, seumur hidup membangun
cinta bersama. Namun, pekerjaannya belum selesai, mesti dituntaskan, hingga tak
ada rentetan masalah yang mendatangi kami di kemudian hari.
Malam
itu, Herman tak bisa mendatangiku lagi. Sudah dua bulan kutunggu angin sejuknya
di balik pintu, bahkan jendela kamarku, barangkali ada bayangan Herman yang tiba-tiba
berubah pikiran dan mengunjungiku di rumah yang kutinggali sendiri. Tetapi
tidak, hingga hari ini. Herman tak datang hingga dua bulan penantianku, genap.
Dan, perjalanan dua bulan itu pun kuhabiskan sambil meminum kopi pahit darinya,
entah berapa kali dalam sehari.
Lalu,
pada satu siang Herman datang membawa senyumnya yang lebar. Ia memelukku,
kubalas pelukannya, tanda bahwa sejauh ini aku masih menantinya.
“Sudah
lama aku menunggu kamu datang.” Tangisku meretas di atas pundak Herman.
“Maafkan
aku, mesti kuatur alasan yang tepat agar semuanya lancar.” Ia menjauhkan
tubuhku yang sedari tadi menempel di dadanya. Mengusap air mataku, melihatku
penuh rindu. Aku tahu itu. Yakin. Sangat yakin dia pasti merindukanku juga.
Aku
hafal betul bau tubuh Herman, mengenal hingga temperatur nafasnya yang hangat.
Kali ini kedatangannya sedikit memikul beban. Entah apa, yang pasti ada hal
lain yang dipikirkannya selain aku.
“Kamu
baik-baik saja?” Tanyaku yang tak enak memandang rautnya yang kusut.
“Tidak
apa-apa, dia hanya sedikit sakit, kurang enak badan.” Jawabnya dengan nafas
menghembus lirih.
“Benar
tidak apa-apa?”
Herman
mengangguk. Lantas kuajak ia masuk rumah. Seperti malam-malam pertemuan kami
sebelumnya. Herman menginap. Kali ini hanya dua hari.
Kuamati
tubuh Herman yang tengah tidur pulas di sampingku. Cintaku. Cinta yang
membuatku buta dan mengajariku lapang dada meneguk kopi pahitnya. Perasaanku kali
ini tak enak. Aku tahu akan ada lebih banyak lagi kopi pahit yang nantinya ia
berikan. Lebih dari secangkir. Bahkan bisa satu tong kopi pahit. Dan yang
pasti, aku harus meminumnya lagi. Dan lagi.
Kutatap
bagaimana ia lelap dengan posisi miring, cara yang sama, menghadap ke arahku.
Menenggelamkan pipi sebelah kirinya. Dan pagi hari, ada cetakan seprei di
pipinya itu, kerutan kusut kain bantal yang menekannya semalanan. Sungguh,
tidurnya pun membuatku tak bisa beralasan mencintai laki-laki lain. Satu lagi,
secangkir kopi pahit kuminum, bahkan saat aku begitu mengagumi Herman.
Tidak.
Kuharap tidak berjalan seperti pikiranku.
Pagi
ini, kami pun sarapan bersama. Sarapan kopi tanpa gula yang selalu dibuatkannya
untukku. Ada banyak kopi pahit di wajah Herman. Pada mata, lesung pipi, dan di
sudut bibirnya. Ada banyak sisa kopi pahit disana.
“Aku
pulang dulu.”
“Kapan
kau akan menemuiku lagi?”
“Aku
tak tahu. Kali ini mungkin lebih lama. Kau mesti sabar menunggu. Percayalah,
bila aku bisa berlari lebih cepat, aku pasti datang menemuimu.” Herman pun
pergi selepas mengusap ubun-ubunku, seperti putri kecil. Ya. Putri yang
menunggu pangeran pulang dari peraduannya. Aku mengangguk. Membahasakan
keyakinanku yang tanpa keraguan, untuk selalu menunggunya datang.
***
Purnama
yang kelima. Sudah lima bulan ini Herman belum juga datang. Lewat pembicaraan
telepon terakhir, ia bilang bahwa ia segera mendapat cuti kerja dan menemuiku.
Tetapi tidak kenyataannya, ia belum juga datang. Aku takut menghubunginya,
menagih janji, khawatir ia teramat sibuk dengan hidupnya disana.
“Sampai
kapan kamu akan menunggunya, Na?” Seorang sahabat datang mengunjungiku. Ardy.
Aku tak tahu mengapa ia tak kunjung bosan mengunjunginku hampir tiap minggu, di
hari-harinya kala libur kerja.
Aku
diam, tak menjawab pertanyaannya. Ardy benar. Sampai kapan aku mesti menunggu
Herman yang hanya bisa memberi janji, menyuguhiku bercangir-cangkir kopi
pahitnya.
“Helena!
Kamu perempuan pintar, cantik, mandiri. Banyak lelaki yang bersedia jadi pacar
kamu. Tidak seharusnya kamu berada di balik punggung laki-laki yang tak pantas
jadi tempatmu berlindung.” Begitulah Ardy yang selalu cerewet, menceramahiku
dengan banyak sekali kosa kata yang tak pernah habis.
Lagi-lagi
Ardy benar. Herman bukan laki-laki yang pantas kuharapkan. Ia tak lebih dari
seorang lelaki yang mesti mengatur matang pertemuannya denganku, agar tak ada
seorang pun yang tahu. Sejauh ini, hanya Ardy yang mengerti kondisiku. Sebab,
ia butuh jawaban rasional mengapa sejak dulu aku tak membuka hati untuknya.
Terpaksa kujelaskan alasanku yang begitu menyayangi Herman, sampai tak bisa menerima
cinta Ardy.
Aku
tahu, sangat sadar, tak seharusnya aku melanjutkan cintaku pada Herman. Tak
seharusnya terlalu membangun mimpi terlampau tinggi untuk berharap dinikahinya.
Kadang kupikir, kedatangan Ardy dengan segunung nasehatnya, bisa membuatku sedikit
terbuka pada kenyataan. Tetapi tidak, pintu keyakinanku terlanjur dibanjiri
oleh kopi pahit Herman. Menutup. Tertutup. Ditutup tanpa sengaja. Lalu aku
kembali memilih menantinya.
Itulah
aku, Helena. Sedang jatuh cinta. Mencintai Herman. Helena yang irasional dan
tak mengharap apapun.
***
Dan
pada satu waktu, Herman kembali meneleponku,
“Helena..”
ia memanggilku dengan nada yang makin gamang kali ini.
Aku
diam, tak menjawab. Pasti masih ada yang ingin dibicarakannya.
“Dia
semakin mendesakku untuk memilih.” Begitulah kalimat keduanya yang terlontar.
“Rupanya
dia tahu dengan hubungan kita yang belum juga berakhir.”
Aku
ingat, dulu kami sempat mengirim surat palsu pada istrinya, memberitakan kata
“bubar” demi menenangkan hatinya. Kukirimkan surat palsu permohonan maaf dan
berjanji takkan menganggu rumah tangga Herman lagi. Itu pun kulakukan atas
kesepakatanku dan Herman. Agar tak ada lagi pihak yang mencurigai kami
terus-terusan.
Aku
tersenyum pahit. Rupanya alibi kami tak mampu membuat istrinya percaya dan
masih saja mencurigai.
“Aku
tak tahu, mungkin dia membayar orang untuk memata-matai kita. Kini kondisinya
sedang parah.”
“Helena…
Dia benar-benar memaksaku memilih. Dan jika aku tak memilihnya, ia mengancam
akan bunuh diri.”
Herman, sudah jangan kau lanjutkan.
“Bukankan
sudah berapa kali ia mengancam kamu untuk bunuh diri. Ini bukan yang pertama
kalinya, Herman.” Aku menjawabnya. Berharap herman masih mau berubah pikiran.
“Kali
ini tidak. Dia mencoba mencelakakan diri dengan meminum racun tikus dan
obat-obatan dalam jumlah banyak. Kali ini ia benar-benar sekarat di rumah
sakit.”
Ini dia. Inilah kalimat yang tak pernah
ingin kudengar.
“Helena…”
Tidak, Herman cukup. Jangan kau lanjutkan.
“Maafkan aku.
Aku tak bisa meneruskannya kali ini.”
Tidak. Aku tak ingin. Cukup.
“Aku
benar-benar minta maaf.”
Cukup. Cukup. Tidak Herman.
“Helena,
aku tak bisa. Maafkan aku.”
Laki-laki
dengan kopi pahit itu pun menutup teleponnya perlahan, sangat pelan berharap
ini tak menyakitkan untukku. Perutku teramat mual, dibuatnya kembung dengan
ribuan liter kopi pahit yang kuteguk sekaligus. Herman, ini menyakitkan.
Menyakitiku hingga ke pori-pori tulang.
Aku
tak mampu bangkit. Ardy benar. Tak pantas kulabuhkan hidup padanya.
Menjadikannya mercu suar di lautan gelap. Menjadikannya sandaran pelabuhan
hidup.
Pipiku
terasa berat dengan ribuan air mata yang menggelinding, membanjiri hatiku.
Untuk pertama kalinya aku merasa teramat benci pada bayanganku sendiri.
Bayanganku di cermin, yang mengejekku, menertawakan Helena yang sedari awal tak
pernah percaya pada kata hatinya. Helena yang menggantungkan cintanya pada
laki-laki yang kini mencampakkannya.
Herman
mungkin masih mencintaiku. Memikirkanku sebanyak yang ia bisa. Namun, keputusan
yang sedari dulu tak pernah dilakukannya, kini dipilihnya. Dan sayangnya,
keputusan itu adalah meninggalkanku. Keputusan yang membuatku berhenti
tersengal lelah bila kupikirkan bagaimana gigihnya aku mempertahankan hubungan
kami.
Aku teramat benci pada
keadaan ini. Aku tahu, Herman pun mampu mengira, bahwa aku teramat terluka.
Lima tahun perjalananku menyayanginya, kini tersumpal janji yang tak bisa ia
jalani lagi. Perjalanan yang sia-sia.
***
Sudah
lama tak kuhabiskan waktu menatap bunga segar, yang sebenarnya berdiri setia di
sekelilingku. Aku sempat lupa bagaimana caranya tersenyum. Bagaimana menjalani
hari tanpa satu persen pun rasa putus asa. Beberapa waktu lumpuh akan keinginan
untuk bangkit dan belajar melupakan Herman.
Aku
tak tahu sudah seberapa lama kian tertidur lelap dalam kebencian akan diriku
sendiri. Berapa malam yang kulalui sambil mengkungkung wajahku dalam bantal,
persis seperti caraku menghadapi ketakutan. Sudah berapa lama pula tak
kuhiraukan Ardy yang setiap hari datang membawakanku kopi pahit, lengkap
beserta gulanya.
Aku
lupa. Kopi pahit perlu gula. Sebenarnya aku punya banyak gula. Yang sempat
terlupakan dimana tepatnya kusimpan. Gula yang sempat tertutup rapat dalam
toples, erat, sangat erat, sampai pada hari ini aku baru bisa membuka tutupnya.
Ardy benar. Aku tidak benar-benar
mati. Ada titik cerah yang selalu berdiri di pelupuk mataku. Tak perlu mercu
suar karena sebenarnya lautanku tak pernah gelap, ia selalu terang, dan tak
pernah kering. Hatiku tak mati. Ia hanya berganti sisi menjadi lebih redup,
selama beberapa waktu. Dan kini, aku siap. Aku siap tersenyum. Meneguk kopi
yang tak hanya kunikmati pahitnya, tetapi juga rasa manisnya.
Selamat ya!!!
BalasHapusMari saling berbagi karya. Saling membaca, saling menekuni kata per kata.
sama-sama ;)
Hapus